Suara.com - "Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat", begitulah petitih yang tampak bisa mengiaskan kegelisahan John Jonga, tokoh masyarakat Papua.
John, dalam Seminar Nasional Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK untuk Papua, di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Senin (18/12) awal pekan ini, menyindir pemerintah yang lambat menangani persoalan pelanggaran HAM di Papua.
Saat dinilai lambat menyelesaikan pelanggaran HAM Papua, pemerintah justru cepat merespons saat Presiden Amerika Serikat Donald Trump mendeklarasikan pengakuan atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Baca Juga: 5 Kasus Kesehatan Menghebohkan Publik Sepanjang 2017 di Indonesia
"Papua tidak lebih penting ketimbang Palestina," ketus John dalam seminar tersebut.
Hingga kekinian, kata John, tim yang dibentuk Jokowi-JK untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Papua "jalan di tempat" alias belum menghasilkan solusi apa pun.
"Ya, aksi dan gerakannya khayal. Tidak ada apa pun. Apa yang mau diharapkan soal penegakan hukum," tukasnya,
Ia mengatakan, Kejaksaan Agung dan Komnas HAM juga demikian, lambat menyelesaikan kasus-kasus di Papua. Parameter yang diajukan John sangat mudah, tak ada satu pun kasus pelanggaran HAM di Papua yang bisa diselesaikan dalam kurun waktu tiga tahun kepemimpinan Jokowi-JK.
Baca Juga: Berkarier 16 Tahun di Google, Pemilik Alphabet Mengundurkan Diri
Tiga Kasus Besar
Papua menyimpan banyak kasus pelanggaran HAM setidaknya sejak era Reformasi. Namun, tanpa mengenyampingkan kasus-kasus lainnya, ada tiga perkara besar terkait HAM di Papua.
Pertama, peristiwa penyerbuan diduga aparat Brimob Polda Papua terhadap warga di Desa Wonobi, Wasior, Manokwari, Papua, tahun 2001.
Penyerbuan itu dilatarbelakangi terbunuhnya 5 anggota Brimob dan satu warga sipil di lingkungan kerja PT Vatika Papuana Perkasa.
Perusahaan kayu itu, menurut laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dianggap warga mengingkari kesepakatan bersama.
Kesepakatan yang dimaksud ialah warga diberikan pembayaraan saat pengapalan kayu.
Karena marah, warga lantas menahan perahu cepat milik perusahaan sebagai jaminan. Aksi spontanitas warga itu direspons perusahaan dengan mendatangkan Brimob guna menekan.
Ketika rakyat ditekan, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM), yakni Tentara Pembebasan Nasional (TPN) melalui insureksi. Lima orang Brimob dan satu karyawan perusahaan itu mati.
Aparat merespons insureksi itu. Mereka melakukan pencarian pelaku. Namun, saat melakukan pencarian, mereka diduga melakukan penyiksaan, pembunuhan, dan penghilangan paksa di Wasior.
Empat warga tewas, satu perempuan mengalami kekerasan seksual, 5 orang hilang, dan 39 warga mengaku disiksa.
Selain peristiwa Wasior, ada pula insiden di Wamena pad 4 April tahun 2003. Persisnya ketika warga merayakan Hari Paskah, terdapat penyisiran aparat di 25 kampung.
Penyisiran itu dilakukan setelah sekelompok massa tak dikenal membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Selain membobol, kelompok itu juga membunuh 2 anggota Kodim, yakni Lettu Napitupulu dan Prajurit Ruben Kana. Sementara satu serdadu terluka.
Dalam penyisiran di 25 desa itu, Komnas HAM melaporkan 9 warga sipil tewas, dan 38 lainnya luka berat.
Tak hanya itu, terdapat pula pemindahan paksa warga 25 kampung yang menyebabkan 42 orang meninggal karena kelaparan, dan kemerdekaan 15 lainnya dirampas.
Selang 11 tahun, persisnya pada 8 Desember 2014 tengah malam, satu mobil hitam melaju dari Enaro ke Kota Madi yang diduga dikendarai dua oknum TNI.
Mobil itu dihentikan tiga remaja. Mereka meminta lampu mobil itu dinyalakan untuk menghindari kecelakaan menjelang perayaan Natal.
Penumpang mobil itu marah. Mereka kembali ke markas di Madi Kota untuk mengajak sejumlah rekan kembali ke Togokotu, tempat mereka dihentikan oleh tiga remaja tersebut.
Sesampainya di lokasi, satu remaja itu dipukul sampai babak belur. Keesokan hari, warga Paniai berkumpul di lapangan Karel Gobay, dan mendesak aparat bertanggung jawab.
Namun, belum sempat bernegosiasi, aparat TNI dan Polri diduga sudah melakukan penembakan ke arah warga. Hasilnya, 4 warga tewas, 13 orang terluka. Satu dari 13 orang yang terluka akhirnya meninggal di RS Mahdi.
Ormas-ormas Papua seperti Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) maupun Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua), secara rutin menggelar aksi maupun kegiatan kampanye lain guna mendesak penyelesaian kasus-kasus itu. Namun, aksi-aksi itu jarang mendapat respons dari pemerintah.
Diplomat-diplomat Indonesia di PBB juga menyanggah terjadinya pelanggaran HAM di Papua.
"Jika Indonesia memiliki sesuatu untuk disembunyikan dalam masalah hak asasi manusia di zaman sekarang ini, di era teknologi terbuka, semua orang akan tahu jika tuduhan semacam itu ada,” kata Sekretaris III Perwakilan Tetap Indonesia untuk PBB Ainan Nuran, saat Debat Umum Majelis Umum PBB ke-72, 25 September 2017.
Dalam persidangan itu, pelanggaran HAM di Papua menjadi perdebatan hangat.Isu itu muncul setelah pada 21 September, Perdana Menteri Vanuatu Charlot Salwai mendesak Dewan HAM PBB menyelediki kasus-kasus HAM di Papua.
Sikap para diplomat itu tampak membenarkan sindiran Pastor John Jonga yang juga peraih Yap Thiam Hien Award 2009 dalam seminar LIPI.
"Dalam penegakan hukum dan HAM, pemerintah (Jokowi) sudah bentuk tim waktu zamannya Pak Luhut (Luhut Pandjaitan). Tapi sampai saat ini tidak ada bunyi. Gerakannya kayak tidak ada apa-apa. Jadi apa yang mau diharapkan dari penegakan hukum. Satu pun tidak ada di zaman Jokowi. Masih ada penyisiran di Nduga. Ada 4 orang yang sudah ditembak, entah itu masih hidup atau sudah meninggal. Tetapi peristiwa ini menambah panjang korban pelanggaran HAM di Papua. Saya kira Papua tidak lebih penting daripada Palestina," demikian pernyataan lengkap John dalam seminar tersebut.