YLBHI: TNI Mulai Kembali Terlibat Kegiatan Sosial Politik

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 22 Desember 2017 | 08:21 WIB
YLBHI: TNI Mulai Kembali Terlibat Kegiatan Sosial Politik
Ketua YLBHI Asfinawati [suara.com/Maidian Reviani]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aktivis masyarakat sipil menilai, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mulai banyak menarik keterlibatan kalangan militer dalam kehidupan sosial dan politik.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, sejauh ini pihaknya mendapat informasi ada 30 nota kesepahaman (memorandum of understanding; MoU) yang melegalkan keterlibatan militer dalam program-program kementerian.

Dari jumlah tersebut, YLBHI baru mendapatkan dokomen resmi pada lima kegiatan. Kelimanya antara lain adalah MoU antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Pertahanan soal sertifikasi tanah aset militer di berbagai daerah.

Baca Juga: Israel Tolak Resolusi PBB Tentang Yerusalem

Selain itu ada pula MoU antara Kementerian Desa, Pembangunan daerah Tertinggal dan Trasmigrasi dan TNI untuk terlibat mengawasi penggunaan dana desa.

Berikutnya Mou antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan TNI untuk materi pelajaran bela negara.

Kemudian MoU antara TNI dan Kementerian Pertanian untuk program ketahanan pangan. Berikutnya adalah pelibatan TNI dalam pengamanan obyek vital negara.

Menurut Asfinawati, hal ini bertentangan dengan TAP MPR 10/MPR/1998 dan Tap MPR No 6-7/MPR/2000 yang menyatakan, jika ada keterlibatan militer dalam kehidupan sosial politik hal itu akan berdampak buruk terhadap demokrasi.

Selain itu, pelibatan TNI dalam kegiatan sipil ini sebenarnya tidak tepat. TNI adalah aparat negara yang mempunyai keterampilan khusus yang tidak bisa digantikan institusi lain untuk melindungi negara.

Baca Juga: Polisi Bantu Pengamanan Penutupan Jalan Jati Baru untuk PKL

“Jadi, TNI tidak pada tempatnya membantu ketahanan pangan dengan mencetak sawah,” ujar dia.

Dalam dokumen negara, karakter TNI tidak untuk melakukan kehidupan sosial politik, namun instrument pertahanan negara.

Proyek Infrastruktur

Selain persoalan militer, YLBHI menilai kebijakan pemerintahan Jokowi-JK untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur sepanjang tahun 2017, membuat banyak masyarakat merasa dilanggar hak-haknya.

Asfinawati mengatakan, dalam dokumen Nawacita atau program umum pemerintahan Jokowi-JK tercatat orientasi pembangunan yang tidak hanya pembangunan fisik, namun juga sumber daya manusia.

“Tapi sekarang ini, pembangunan infrastruktur yang sangat diprioritaskan,” tukasnya.

Menurut catatannya, aduan pelanggaran hak akibat pembangunan infrastruktur masuk dari semua wilayah.

Ia mengungkapkan, di Palembang, LBH setempat menerima pengaduan kasus pembangunan jalan tol. LBH Jakarta juga pengaduan soal reklamasi 17 pulau.

Kemudian di LBH Padang, ada aduan tentang proyek pembangkit listrik tenaga geothermal. LBH Bandung menerima pengaduan soal pembangunan PLTU Batubara Cirebon dan Bendungan Jatiegede.

Sementara LBH Yogyakarta menerima aduan masuk soal pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulonprogo.

Sedangkan di Bali, kasus pembangunan PLTU Celukan Bawang yang diadukan. Soal pembangunan PLTU juga diadukan terjadi di Makasar, Sulawesi Selatan serta Batang, Jepara, Cilacap di Jawa Tengah. Kasus di Jawa Tengah ditambah dengan pembangunan jalan tol Semarang-Batang.

Menurut Asfinawati, kasus-kasus pengaduan itu menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dan infrastruktur dilakukan dengan mengambil hak masyarakat.

Selain itu, meski ditujukan untuk meningkatkan derajat kesejahteraan, ada “efek memiskinkan” yang tidak bisa dihindari.

Misalnya pada kasus pembangunan Bandara NYIA di Yogyakarta, di satu sisi ingin meningkatkan perekonomian masyarakat, namun di lain sisi menghilangkan akses masyarakat pada sumber pendapatannya.

Kasus-kasus yang terjadi saat ini, menurut Asfinawati, tidak jauh berbeda dengan masa lalu. Baik soal jenis, pola, maupun penyelesaiannya.

“Yang beda hanya saat ini katup untuk bersuara relatif terbuka dan ada mekanisme pengaduan di luar pengadilan, seperti Komnas HAM dan Ombudsman,” ujarnya.c

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI