Suara.com - Konflik tanah antara Israel dengan Palestina kembali memanas, setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mendeklarasikan pengakuan atas Yerusalem sebagai ibu kota sekutu mereka, Israel.
Sejak deklarasi tersebut, Rabu (6/12) dua pekan lalu, warga Palestina dari beragam faksi spektrum politik--Islamis, Komunis, Nasionalis, Pan-Arabis—tumpah ruah ke jalan-jalan Tepi Barat, Gaza, Betlehem, dan wilayah lainnya untuk menggelar aksi protes.
Tak jarang, aksi protes itu berakhir bentrokan antara demonstran dengan militer Israel.
Baca Juga: Lab Sabu MG Club Sudah 2 Tahun, Polisi Bilang Bukan Kecolongan
Termutakhir, seperti dilansir Anadolu Agency, Selasa (19/12/2017), sebanyak 15 orang Palestina terluka pada Senin (18/12), ketika tentara Israel melepaskan peluru karet di kawasan Tepi Barat.
Dalam pernyataan tertulisnya, Bulan Sabit Merah Palestina menyebutkan insiden itu terjadi kamp pengungsian Ain-al Sultan di Kota Jericho. Sementara tiga orang lainnya terkena gas air mata.
Menurut saksi mata, bentrokan terjadi ketika sekelompok Yahudi melewati kota yang dilindungi tentara Israel untuk berdoa di sinagog bersejarah di kawasan tersebut.
Aksi-aksi memprotes deklarasi Trump itu juga terjadi di banyak negara lain. Namun, tak jarang, aksi-aksi protes itu dilatari oleh kebencian berlatar SARA. Tidak sedikit pula pihak yang menilai konflik Israel-Palestina sebagai "perang agama".
Namun, sejumlah riset membuktikan hal sebaliknya. Perseteruan kedua belah pihak murni karena masalah perekonomian dan penjajahan. Setidaknya itu dibuktikan oleh banyaknya umat Muslim Arab yang justru bergabung dengan Israel Defence Force (IDF)—militer Israel.
Baca Juga: Kadisparbud Menyebut Kasus Diskotek MG Club Modus Baru
Hal yang mengejutkan bahwa lambang Bintang Daud—logo bendera Israel—tertempel di seragam Sersan Yossef Saluta.
Saluta adalah seorang Arab Muslim yang menjadi anggota IDF. Ia dan rekan-rekannya dikumpulkan menjadi unit sendiri yang menghimpun Arab Muslim dalam ketentaraan Israel.
"IDF terbuka untuk warga Israel yang berasal dari Arab Muslim. Kami hanya tak menerima anggota dari suku Badui Arab," kata Kolonel Wagdi Sarhan, kepala unit Arab Muslim IDF kepada NBC News, 26 Februari 2017.
Empat tahun silam, kata dia, jumlah Arab Muslim yang bergabung dengan IDF di bawah 10 orang. Tapi mulai tahun 2017, jumlah itu terus bertambah menjadi puluhan orang.
NBC News menuliskan, Arab Muslim warga Israel secara tradisional menilai IDF didirikan untuk menekan perlawanan warga Palestina di Jalur Barat. Daerah itu diambilalih Israel sejak tahun 1967.
Namun, bagi Arab Muslim yang bergabung dengan IDF seperti Saluta tak lagi memunyai paradigma seperti itu.
"Israel adalah negaraku, dan tugasku menjaga perbatasan. Ketika aku memberitahukan keluargaku mengenai hal ini, mereka mendukung," tuturnya.
Saluta mengakui, ketika kali pertama menyatakan mau bergabung dengan IDF, ia dijauhi oleh rekan-rekan sejawatnya.
"Tapi, setelah aku menyebarkan pengalamanku selama menjadi anggota IDF, banyak Arab Muslim sebayaku mengikuti keputusanku melayani militer negara," tutur Saluta yang baru berusia 20 tahun ini.
Sejak Israel Berdiri
Sementara hasil riset Pusat Penelitian Politik dan Strategi "Javi: Universitas Barailan, Tel Aviv, tahun 2012 menyebut Arab Muslim sudah banyak bergabung dengan IDF sejak Israel didirikan pada tahun 1948.
Seorang Arab Muslim anggota IDF yang dianggap legendaris adalah Jenderal Yusuf Tarumbaldur. Ia menjadi ikon Arab Muslim yang rela berkorban demi Israel.
Riset itu menunjukkan pertumbuhan umat Muslim yang menjadi warga negara Israel mengalami kenaikan sejak tahun 1948 hingga 1956. Jumlah itu semakin meningkat sejak era 1970-an hingga puncak kenaikannya pada tahun 2008. Sejak saat itu, persentase umat Muslim di Israel mencapai 19 persen dari total penduduk.
Warga Arab Muslim yang mayoritas berdomisili di Galil dan Mutsalas dilindungi oleh pemerintah. Identitas kebangsaan mereka dijamin, begitu pula pendidikannya.
Berdasarkan data itu, riset Javi menyebut anggota IDF dari kalangan Arab Muslim mencapai 12 ribu orang. Sementara 1.120 orang di antaranya berasal dari Mesir.
Asimilasi
Kolonel Wagdi Sarhan, kepala unit Arab Muslim IDF, dinasnya menargetkan merekrut lebih banyak lagi anggota untuk beberapa tahun ke depan.
Menurutnya, rekrutmen Arab Muslim ke IDF tersebut merupakan salah satu cara terbaik untuk mengasimilasi mereka ke dalam masyarakat umum Israel.
"Militer sangat mampu memperkuat keterkaitan populasi Arab dengan tatanan sosial Israel yang demokratis. Kami paham, melayani militer akan memudahkan kami terkoneksi dengan Israel," tuturnya.
Ia mengatakan, tak ada diskriminasi yang terjadi dalam dinas kemiliteran yang diikuti oleh warga Arab Muslim.
"Ketika diambil sumpah militer, kami menyatakan sumpah setia kepada negara dengan Al Quran di atas kepala kami," tukasnya.
Seorang Arab Muslim yang menjadi anggota IDF, Sersan Saleh Halil, menuturkan hal yang sama. Ia mengklaim tak ada perbedaan berbasis SARA dalam IDF.
Ia lantas menceritakan pengalamannya saat diterjunkan IDF ke daerah Palestina.
"Setelah menyelesaikan latihan, aku ditugaskan di Jenin, dekat daerah Palestina di Tepi Barat. Kau bisa membayangkan, bagaimana kagetnya mereka (warga Palestina) saat aku berbicara bahasa Arab," tereangnya.
Ditentang Politikus
Meski tak mendapat diskriminasi, rekrutmen Arab Muslim menjadi anggota IDF ditentang oleh banyak politikus di parlemen Israel.
Yousef Jabareen, anggota parlemen Israel dari kalangan Arab Muslim, menilai komunitasnya seharusnya tak bergabung melayani militer.
"Politikus maupun tokoh komunitas Arab Muslim Israel menolak keras rekrutmen tersebut. Kita tidak bisa menjadi bagian rezim yang menindas rakyat sendiri," tuturnya.
Ia mengatakan, IDF selama ini tidak hanya melakukan penjajahan di tanah Palestina, tapi juga melakukan indoktrinasi terhadap pemuda-pemuda Arab Muslim Israel.
"Ketika seorang dari kami bergabung dengan IDF, maka dia dipastikan diindoktrinasi prinsip-prinsip Zionisme. Itu sudah pasti," tandasnya.