Maryanti asal Bengkulu. Siang tadi, dia datang ke gedung Mahkamah Konstitusi bersama kuasa hukum Koalisi 18+ untuk mengajukan surat protes kepada hakim Mahkamah Konstitusi.
Dia protes karena persidangan judicial review atas Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) tentang batas usia kawin tak kunjung dituntaskan.
Perempuan berusia 30 tahun itu juga mengajak dua anaknya, masing-masing berusia 10 tahun dan tiga tahun. Sejatinya, ada tiga pemohon yang mengajukan judicial review. Tetapi, tadi tak semua bisa hadir. Permohonan uji materi tercatat sebagai perkara nomor 22/PUU-XV/2017.
Ketika ditemui Suara.com, dia bercerita sudah dijodohkan ayahnya ketika baru menginjak usia 11 tahun. Pria pilihan ayahnya waktu itu sudah 40 tahun.
Maryanti menolak keras. Dia sampai kabur dari rumah ke rumah neneknya. Gara-gara itu, dia sampai putus sekolah.
Setahun kemudian -- usianya 12 tahun -- Maryanti pulang ke rumah orangtuanya. Ayah tetap berkeras untuk mengawinkan dengan lelaki yang usianya jauh di atas usia Maryanti.
"Ketika itu saya tetap tidak mau. Kemudian bapak saya menunggu dua tahun, dan akhirnya di umur 14 tahun saya dinikahkan dengan paksa," kata Maryanti kepada Suara.com.
Usut punya usut. Ayah dari Maryanti memaksa dia nikah gara-gara terjerat utang pada lelaki itu -- sekarang suami Maryanti.
Sebenarnya ibu dari Maryanti tidak setuju putrinya dikawinkan terlalu muda. Tapi, sang ayah mengancam kalau Maryanti tetap menolak, ibu yang akan menanggung akibatnya. Akan dipenjara kalau tak bisa melunasi utang.
Seminggu menjelang hari yang ditentukan untuk pernikahan, Maryanti kembali kabur dari rumah. Saking putus asa, dia ingin bunuh diri. Tapi niatnya gagal karena keburu ditemukan orangtuanya. Lalu, dibawa pulang untuk dinikahkan.
Umur Maryanti yang ketika itu masih 14 tahun dimanipulasi menjadi 20 tahun.
"Waktu itu pas dinikahkan direkayasa juga, kepada penghulu dan KUA (Kantor Urusan Agama) saya dibilang sudah janda," kata dia.
Orangtua Maryanti merupakan petani miskin di Bengkulu. Sejak kecil, Maryanti sudah dibiasakan membantu orangtua.
"Saya berhenti sekolah kelas V SD. Waktu itu saya sudah membantu orangtua di kebun," kata dia.
Setelah menikah
Maryanti baru tahu ternyata suaminya sudah punya istri dan anak. Tapi apa boleh buat.
Maryanti tiga kali keguguran. Baru pada kehamilan yang keempat, Maryanti berhasil melahirkan. Tapi, anaknya sakit lalu meninggal sebelum usia mencapai lima tahun.
Maryanti datang bidan di sebuah puskesmas untuk menanyakan kenapa sering keguguran. Kata bidan, kandungannya memang lemah.
"Baru di umur saya 20 tahun, anak saya yang ke lima lahir lagi dan alhamdulillah sampai sekarang. Jadi anak saya yang hidup yang kelima dan keenam. Jadi sekarang anak saya yang hidup dua, satu umur 10 tahun dan satu lagi umur tiga tahun," kata dia.
Maryanti tinggal bersama suami di daerah pedalaman Bengkulu. Lokasinya jauh dari rumah orangtua.
"Suami saya ketika itu bekerja di perkebunan sawit orang lain," ujar dia.
Sekarang ini, situasi terbalik. Suami Maryanti berusia 49 tahun dan menganggur. Praktis, Maryanti yang jadi andalan.
"Sekarang saya bekerja sebagai PRT, suami saya sudah nggak kerja. Sekarang saya yang biayai rumah tangga sendiri, termasuk biaya sekolah anak-anak," kata dia.
Dampak nikah dini
Tim hukum yang mendampingi Maryanti dari Koalisi 18+, Indry Oktaviani, menyebutkan dampak psikologis dan kesehatan bagi anak perempuan yang dikawinkan terlalu muda merupakan salah satu dasar uji materi UU Perkawinan Pasal 7 ayat (1) mengenai batas usia kawin.
Indry mengatakan batas minimum usia perempuan kawin 19 tahun, sama dengan laki-laki.
"Semua anak-anak yang kawin dibawah umur bermasalah secara psikologis dan kesehatan. Secara kesehatan kandungannya lemah," ujar dia.
Anak-anak secara kesehatan belum siap untuk melakukan perkawinan.
"Artinya dalam tanda kutip ada kekerasan seksual terhadap anak yang nikah dibawah umur," kata dia.
Dia protes karena persidangan judicial review atas Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) tentang batas usia kawin tak kunjung dituntaskan.
Perempuan berusia 30 tahun itu juga mengajak dua anaknya, masing-masing berusia 10 tahun dan tiga tahun. Sejatinya, ada tiga pemohon yang mengajukan judicial review. Tetapi, tadi tak semua bisa hadir. Permohonan uji materi tercatat sebagai perkara nomor 22/PUU-XV/2017.
Ketika ditemui Suara.com, dia bercerita sudah dijodohkan ayahnya ketika baru menginjak usia 11 tahun. Pria pilihan ayahnya waktu itu sudah 40 tahun.
Maryanti menolak keras. Dia sampai kabur dari rumah ke rumah neneknya. Gara-gara itu, dia sampai putus sekolah.
Setahun kemudian -- usianya 12 tahun -- Maryanti pulang ke rumah orangtuanya. Ayah tetap berkeras untuk mengawinkan dengan lelaki yang usianya jauh di atas usia Maryanti.
"Ketika itu saya tetap tidak mau. Kemudian bapak saya menunggu dua tahun, dan akhirnya di umur 14 tahun saya dinikahkan dengan paksa," kata Maryanti kepada Suara.com.
Usut punya usut. Ayah dari Maryanti memaksa dia nikah gara-gara terjerat utang pada lelaki itu -- sekarang suami Maryanti.
Sebenarnya ibu dari Maryanti tidak setuju putrinya dikawinkan terlalu muda. Tapi, sang ayah mengancam kalau Maryanti tetap menolak, ibu yang akan menanggung akibatnya. Akan dipenjara kalau tak bisa melunasi utang.
Seminggu menjelang hari yang ditentukan untuk pernikahan, Maryanti kembali kabur dari rumah. Saking putus asa, dia ingin bunuh diri. Tapi niatnya gagal karena keburu ditemukan orangtuanya. Lalu, dibawa pulang untuk dinikahkan.
Umur Maryanti yang ketika itu masih 14 tahun dimanipulasi menjadi 20 tahun.
"Waktu itu pas dinikahkan direkayasa juga, kepada penghulu dan KUA (Kantor Urusan Agama) saya dibilang sudah janda," kata dia.
Orangtua Maryanti merupakan petani miskin di Bengkulu. Sejak kecil, Maryanti sudah dibiasakan membantu orangtua.
"Saya berhenti sekolah kelas V SD. Waktu itu saya sudah membantu orangtua di kebun," kata dia.
Setelah menikah
Maryanti baru tahu ternyata suaminya sudah punya istri dan anak. Tapi apa boleh buat.
Maryanti tiga kali keguguran. Baru pada kehamilan yang keempat, Maryanti berhasil melahirkan. Tapi, anaknya sakit lalu meninggal sebelum usia mencapai lima tahun.
Maryanti datang bidan di sebuah puskesmas untuk menanyakan kenapa sering keguguran. Kata bidan, kandungannya memang lemah.
"Baru di umur saya 20 tahun, anak saya yang ke lima lahir lagi dan alhamdulillah sampai sekarang. Jadi anak saya yang hidup yang kelima dan keenam. Jadi sekarang anak saya yang hidup dua, satu umur 10 tahun dan satu lagi umur tiga tahun," kata dia.
Maryanti tinggal bersama suami di daerah pedalaman Bengkulu. Lokasinya jauh dari rumah orangtua.
"Suami saya ketika itu bekerja di perkebunan sawit orang lain," ujar dia.
Sekarang ini, situasi terbalik. Suami Maryanti berusia 49 tahun dan menganggur. Praktis, Maryanti yang jadi andalan.
"Sekarang saya bekerja sebagai PRT, suami saya sudah nggak kerja. Sekarang saya yang biayai rumah tangga sendiri, termasuk biaya sekolah anak-anak," kata dia.
Dampak nikah dini
Tim hukum yang mendampingi Maryanti dari Koalisi 18+, Indry Oktaviani, menyebutkan dampak psikologis dan kesehatan bagi anak perempuan yang dikawinkan terlalu muda merupakan salah satu dasar uji materi UU Perkawinan Pasal 7 ayat (1) mengenai batas usia kawin.
Indry mengatakan batas minimum usia perempuan kawin 19 tahun, sama dengan laki-laki.
"Semua anak-anak yang kawin dibawah umur bermasalah secara psikologis dan kesehatan. Secara kesehatan kandungannya lemah," ujar dia.
Anak-anak secara kesehatan belum siap untuk melakukan perkawinan.
"Artinya dalam tanda kutip ada kekerasan seksual terhadap anak yang nikah dibawah umur," kata dia.