Tiga perempuan muda yang mengajukan judicial review atas Undang-Undang tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengajukan surat protes kepada Mahkamah Konstitusi, Senin (18/12/2017).
Tiga pemohon merupakan korban perkawinan dini. Namanya, Endang Wasrinah, Maryanti (30), dan Raminah (32). Mereka memprotes majelis hakim MK karena menunda-nunda persidangan, bahkan sampai enam bulan lamanya. Pasal yang mereka uji yaitu pasal 7 ayat 1 terkait batas usia kawin. Mereka meminta batas usia kawin yang sebelumnya 16 tahun diubah menjadi 19 tahun. Sebab 16 tahun merupakan usia rentan, baik secara psikologis maupun kesehatan reproduksi.
Tiga pemohon merupakan korban perkawinan dini. Namanya, Endang Wasrinah, Maryanti (30), dan Raminah (32). Mereka memprotes majelis hakim MK karena menunda-nunda persidangan, bahkan sampai enam bulan lamanya. Pasal yang mereka uji yaitu pasal 7 ayat 1 terkait batas usia kawin. Mereka meminta batas usia kawin yang sebelumnya 16 tahun diubah menjadi 19 tahun. Sebab 16 tahun merupakan usia rentan, baik secara psikologis maupun kesehatan reproduksi.
"Kami menuntut agar MK segera mengajukan jadwal sidang," kata kuasa hukum Koalisi 18+ Indry Oktaviani di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, hari ini.
Ketiga pemohon judicial review memasukkan permohonan ke MK pada April 2017. Permohonan mereka dicatat sebagai perkara nomor 22/PUU-XV/2017.
Setelah pendaftaran, proses persidangan sudah dilakukan sebanyak dua kali. Pertama, pada 24 Mei dengan agenda pemeriksaan kelengkapan permohonan dan pemberian masukan majelis hakim atas isi permohonan.
Sidang kedua pada 7 Juni dengan agenda pembacaan perbaikan permohonan sesuai dengan masukan majelis hakim. Di akhir sidang kedua, majelis hakim menyatakan menerima revisi permohonan dan akan membawa perkara ke dalam pleno permusyawaratan hakim.
"Namun anehnya hingga saat ini, para pemohon belum mendapatkan kepastian kelanjutan proses persidangan. Pada 23 Agustus lalu kuasa hukum telah mengirimkan surat kepada Ketua MK untuk meminta informasi perkara ini, kemudian jawabannya belum ada sidang musyawarah majelis Hakim Konstitusi," ujar dia.
Penundaan sidang dinilai akan memperlama ketidakpastian perlindungan kebijakan hukum terhadap anak perempuan dari praktik perkawinan anak. Dengan demikian, akan semakin banyak anak perempuan yang menjadi korban perkawinan dibawah umur.
Maryanti berasal dari Bengkulu. Dia dinikahkan bapaknya pada waktu masih berusia 14 tahun. Maryanti berkata di daerahnya masih banyak anak yang bernasib dengannya.
"Saya di umur 11 tahun berhenti sekolah dan dipaksa kawin, tapi saya kabur dan tinggal bersama nenek. Namun setahun kemudian saat usia 12 tahun saya pulang ke rumah orang tua dan kembali dipaksa kawin sama laki-laki yang sudah tua, tapi saya menolak dan akhirnya di umur 14 tahun saya dikawinkan. Saya empat kali keguguran, anak saya yang hidup sampai sekarang dua," kata dia.