Suara.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi (judicial review) tiga pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Kesusilaan. Ketiganya adalah pasal 284 tentang perzinaan, pasal 285 tentang perkosaan, dan pasal 292 tentang pencabulan.
Dengan putusan ini, pasal perzinaan tetap hanya bisa dikenakan bila pelakunya telah kawin namun melakukan hubungan zina di luar pernikahan, dan merupakan delik aduan.
Delik aduan berarti perbuatan ini tidak dapat dipidana selama tidak ada pihak yang melaporkan.
Baca Juga: Polisi Gagal Tangkap Pebisnis VCD Porno di Glodok
Selain itu, dengan Pasal 292 tentang pencabulan sesama jenis, pidana hanya bisa dikenakan pada orang dewasa yang mencabuli orang lain yang belum dewasa.
“Mahkamah menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Arief Hidayat, di Jakarta, seperti dilansir Anadolu Agency, Kamis (14/12/2017).
Putusan ini diwarnai dissenting opinion alias perbedaan pendapat empat hakim konstitusi.
Sebelumnya, permohonan Uji Materi diajukan oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Euis Sunarti dan 11 orang warga lain.
Mereka menyatakan, tiga pasal kesusilaan tersebut bertentangan dengan konstitusi dan tidak lag bisa melindungi keluarga dari perzinaan.
Baca Juga: Januari 2018, Liam Gallagher Dipastikan Konser di Jakarta
Beberapa poin yang diajukan untuk diuji adalah, dalam pasal perzinaan supaya tidak perlu ada unsur ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan.
Pada pasal perkosaan, pemohon meminta majelis menghilangkan frasa “bukan istrinya”, sehingga definisi perkosaan yang bisa dipidana dapat diberikan oleh laki-laki pada perempuan, maupun perempuan pada laki-laki.
Sedangkan pada Pasal 292, menurut para pemohon, ada kelemahan karena hanya bisa memidana perbuatan cabul sesama jenis antara seorang dewasa dengan seorang lain yang masih di bawah umur. Dalam hal ini hanya orang dewasanya saja yang bisa dijerat hukum.
Pemohon menginginkan dihapusnya frasa “belum dewasa”, sehingga pelaku hubungan sesama jenis yang sama-sama dewasa bisa dikriminalisasi.
Menurut Arief, pemohon tidak sekadar memberi pemaknaan tertentu pada norma undang-undang, tapi merumuskan tindak pidana baru yang dianggap sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Kewenangan ini, menurut Arif, hanya dimiliki oleh lembaga pembentuk UU, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
“Argumentasi bahwa proses pembentukan UU ini lama, tidak dapat dijadikan alasan bagi MK untuk mengambil kewenangan itu,” ujar Hakim Arief.