Suara.com - Sidang perdana Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi KTP Elektronik di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (13/12/2017), bak drama. Betapa tidak, Setnov lebih banyak bungkam saat diberi pertanyaan hakim. KPK menilai Setnov pura-pura sakit.
Langkah Setya Novanto tak tegap gagah seperti biasanya, saat memasuki ruang persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu pagi menjelang siang, 10.00 WIB.
Ketua nonaktif DPR RI itu harus dipapah oleh dua orang dari pintu masuk ruangan menuju kursi pesakitan. Tim Jaksa Penuntut Umum KPK melirik tajam sembari tersenyum ke arahnya.
Dalam perjalanan dari pintu ke kursi, persisnya saat melewati tim kuasa hukumnya, Setnov sempat menopangkan satu tangannya di meja.
Baca Juga: Iqbaal CJR Ternyata Pernah Incar Lawan Mainnya di "Dilan 1990"
Penuh perjuangan, Novanto akhirnya mampu menempatkan pantatnya di kursi terdakwa persidangan tersebut.
Ketua Majelis Hakim Yanto lantas mengetuk palu tanda membuka persidangan. Ia lalu mempertanyakan sejumlah hal standar kepada Setnov.
"Nama lengkap saudara?" tanya hakim.
Mendapat pertanyaan itu, "Pria Tertampan se-Surabaya tahun 1975" itu bergeming.
Tak mendapat jawaban, Hakim Yanto kembali melontarkan pertanyaan.
Baca Juga: Tragis, Seorang Pemain U-16 Berbakat Meninggal Saat Pertandingan
"Saudara tak mendengar pertanyaan saya cukup jelas?" cecar Yanto.
Setnov hanya diam. Tubuh bagian atasnya semakin merunduk.
"Saudara mendengar suara saya?" tanya Yanto, yang sempat dua kali mengulang pertanyaannya.
Yanto lantas mengganti pertanyaan, "Saudara didampingi penasihat hukum?"
Mendapat pertanyaan itu, barulah Setnov menjawab, "Iya, yang mulia."
Karena melihat gelagat Setnov sakit, Hakim Yanto lantas memanggil dokter yang bertugas di KPK, Johanes Hutabarat, maju ke persidangan untuk meminta klarifikasi.
"Saudara memeriksa sebelum persidangan?" kata Yanto kepada Johanes, yang dijawab "Iya, betul".
"Waktu diperika ada komunikasi? menjawab lancar?" tanya Yanto.
"Lancar menjawab yang mulia," kata Johanes.
Yanto lantas beralih bertanya kepada JPU KPK Irene Putri, perihal kesehatan Setnov dalam pemeriksaan terakhir sebelum persidangan.
"Ada keluhan dari terdakwa. Dia bilang diare sehingga harus ke WC sampai 20 kali. Tapi, laporan pengawal rutan kami, terdakwa sepanjang malam cuma dua kali ke toilet. Itu pukul 23.00 WIB dan pukul 02.30 WIB yang mulia," jelas Irene.
Sebagai perimbangan, Yanto lantas bertanya ke ketua kuasa hukum Setnov, Maqdir Ismail. Menurut sang pengacara, terdapat perbedaan hasil pemeriksaan antara dokter pribadi Setnov dengan dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
"Agar tak jadi polemik, kami menilai layak klien kami diperiksa di rumah sakit lain. Tapi kami tak mendapat reaksi atas permohonan kami," tutur Maqdir kepada hakim.
JPU Irene menyanggah pernyataan Maqdir. Menurutnya, Setnov juga sudah diperiksa oleh tiga dokter yang diutus Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Yanto menengahi dengan memanggil tiga dokter yang disebut JPU Irene. Ketiganya lantas muncul di tengah-tengah sidang.
"Saudara dokter, apakah dalam ilmu kodokteran dimungkinan dalam waktu 5 atau 6 jam kondisi kesehatan bisa berubah drastis?" tanya Yanto.
"Bisa yang mulia, kalau saja ada kelemahan di syaraf sebelah kanan. Tapi ciri pertamanya, yang bersangkutan seharusnya tak bisa jalan. Sebab, kondisi psikisnya bisa memengaruhi syarat. Jadi, kalau tidak bisa berbicara, mestinya tidak bisa jalan. Tapi ini (Setnov) bisa jalan ke sidang," tutur dokter.
Mendapat penjelasan tim dokter, Yanto lantas mencoba-coba kembali melontarkan pertanyaan ke Setnov yang sejak tadi hanya terduduk diam, meringkuk.
Namun, Hakim Yanto lagi-lagi "dikacangin" Setnov.
Melihat hal itu, JPU Irene menginterupsi. Ia menuding Setnov mencoba mengulur-ulur persidangan dan melakukan kebohongan.
"Bagi kami, ini salah satu kebohongan yang dilakukan terdakwa yang mulia," tuding Irene.
Kuasa hukum Setnov ganti menginterupsi, membela klien. "Kami mohon agar diberi kesempatan diperiksa dokter lain. Karena KPK dan IDI punya perjanjian untuk memeriksa seseorang yang dianggap perlu diperiksa KPK," balas Maqdir.
Babak I: Toilet
Mendapat permohonan dari kubu Setnov, Hakim Yanto tampak hendak kembali memanggil ketiga dokter yang tadi sudah dihadirkan ke persidangan.
Namun, sebelum hakim sempat memanggil dokter, Setnov yang sebelumnya terdiam mendadak bersuara. Bukan menjawab pertanyaan hakim, tapi ia meminta izin ke toilet.
"Oh, terdakwa mau ke toilet, sidang kita skors sebentar," putus Yanto.
Setnov lantas diantar petugas keamanan keluar ruangan untuk melepas hajatnya.
Babak pertama sidang selesai, belum satu pun materi pokok sidang dibahas.
Babak II: Batuk-Batuk
Sidang kembali dimulai setelah Setnov sukses menunaikan hajatnya di toilet.
Setelah mengetuk palu tanda sidang dimulai, Hakim Yanto kembali melontarkan pertanyaan standar kepada Setnov.
"Nama lengkap saudara? apa betul Setya Novanto?"
Kali ini Setnov tak lagi bungkam. Meski terbata-bata, ia menjawab, "Iya, betul."
Tempat lahirnya di Bandung?" tanya Yanto tampak mengetes. "Di Jawa Timur," tukas Setnov.
Namun, ketika Yanto mempertanyakan apa agama dan alamat tinggal, Setnov terbatuk-batuk untuk kali pertama dalam persidangan.
Agar tak berlama-lama dengan situasi seperti itu, Hakim Yanto meminta dokter KPK kembali memeriksa Setnov. Ia juga mempersilakan kuasa hukum Setnov untuk memanggil dokter juga untuk pemeriksaan.
"Apakah terdakwa betul-betul sakit atau seperti yang disampaikan dalam surat tadi, di sini ada ruangan, bisa diperiksa. Sidang diskors sampai selesai pemeriksaan," putus Yanto.
Babak kedua persidangan berakhir, surat dakwaan juga masih belum bisa dibacakan.
Babak III: Ogah Diperiksa
Hakim Yanto akhirnya kembali membuka persidangan itu pada pukul 14.45 WIB. Setelah dibuka, ia bertanya kepada kubu Setnov, apakah klien mereka sudah diperiksa kesehatannya.
Ternyata, Setnov menolak diperiksa oleh dokter yang dibawa kubunya sendiri.
"Yang kami harapkan adalah dokter ahli, ternyata yang bisa dihadirkan dokter umum. Itu tidak bakal berimbang, sehingga kami putuskan tidak meneruskan pemeriksaan. Kami memohon setelah pemeriksaan ini, saudara termohon diberi kesempatan untuk diperiksa di RSPAD," kata Maqdir.
Yanto lantas mencoba melontarkan pertanyaan kepada Setnov. Tapi seperti sebelumnya, Setnov bungkam.
Hakim ternyata kesal, sehingga meminta anggotanya ganti bertanya kepada si pesakitan.
"Coba,coba, kalau gak mendengar (saya), coba kalau anggota saya," tukasnya.
Namun, anggota majelis hakim tak mampu meluluhkan sikap Setnov yang terdiam, bungkam seribu bahasa. Setnov lantas terbatuk-batuk.
Putus asa terhadap sikap Setnov, Hakim Yanto melempar pertanyaan ke tim JPU KPK yang diketuai Irene Putri, mengenai kondisi terdakwa.
"Jaksa, apakah terdakwa bisa makan atau tidak saat diperiksa dokter sebelum sidang?" tanya hakim.
Irene menjawab, "Bisa". "Sewaktu diperiksa juga bisa berkomunikasi dengan dokter. Terdakwa juga sudah makan siang, disaksikan penasihat hukum," tambah Irene.
Mendapat pernyataan itu, Hakim Yanto balik kembali menanyakan identitas Setnov. Tapi, Hakim Yanto harus menelan pil pahit karena didiamkan Setnov.
Melihat kliennya terus dicecar, ketua kuasa hukum Setnov, Maqdir Ismail, angkat bicara membela.
"Yang mulai, kami ini bukan dokter. Kami juga tak punya kemampuan mengenai kodokteran. Tadi dokter ahli bilang (Setnov) cukup sehat, tapi faktanya demikian. Kami serahkan kepada majelis yang berwenang menghentikan atau meneruskan sidang ini," tutur Maqdir.
Hakim Yanto tampak masih ragu untuk memutuskan. Ia lantas kembali mencoba bertanya kepada Setnov.
"Terdakwa sepakat? Bisa bicara?" tanyanya.
Akhirnya, Setnov bisa membuka mulutnya: "Saya kurang sehat."
Mendapat angin, Hakim Yanto, langsung membalas pernyataan Setnov: "Baik, pelan-pelan bisa dilanjutkan, bagaimana?"
Setnov hanya bergumam saat diberikan pertanyaan seperti itu. Yanto akhirnya berembuk dengan anggotanya, dan akhirnya memutuskan sidang diskors agar kesehatan Setnov bisa diperiksa.
Babak III persidangan berakhir. Namun, meski sempat "hatrick" tiga kali diskors, hakim memutuskan untuk tetap melanjutkan persidangan dengan agenda pembacaan surat dakwaan terhadap Setnov oleh JPU KPK.
Dalam surat dakwaan, KPK menyebut Setnov melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan KTP-el. Novanto didakwa menerima duit total USD 7,3 juta.
"Terdakwa baik secara langsung maupun tidak langsung melakukan intervensi dalam proses penganggaran dan pengadaan barang jasa paket pekerjaan penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan (NIK) secara nasional," ujar JPU KPK.
KPK Menikmati
Saat di sela-sela skors persidangan, Ketua JPU KPU Irene Putri sempat memberikan pernyataan kepada jurnalis mengenai aksi Setnov.
"Kami menikmati apa yang dilakukan terdakwa, dan skenario yang dilakukan terdakwa sebenarnya sudah kami pikirkan sebelumnya," tutur Irene tersenyum.
Sementara Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, bakal mempelajari sikap Setnov selama persidangan. Kalau termasuk tindakan tak koperatif, bukan tak mungkin Setnov bakal dihukum maksimal.
"Semua tersangka punya potensi dihukum maksimal. Itu kalau tidak kooperatif atau berbelit-belit," kata Saut.
Ia mengatakan, Setnov sebenarnya dalam kondisi sehat untuk disidang. Sebab, tim dokter RSCM juga sudah melakukan pemeriksaan untuk memastikan kondisinya.
Karenanya, Saut mengakui merasa heran melihat tingkah lalu Setnov dalam persidangan.
"Apa yang melatari bersangkutan diam, nanti bisa tahu, siapa tahu sakit gigi misalnya,” tuturnya.