Suara.com - Keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Rabu (6/12/2017), yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, dikecam oleh negara-negara Arab. Tetapi Palestina, pihak yang paling dirugikan oleh putusan itu meyakini bahwa salah satu saudara Arab-nya, Saudi justru berada satu gerbong dengan Trump.
Sejumlah pejabat Palestina meyakini Saudi selama beberapa pekan terakhir bekerja di belakang layar untuk menekan Palestina agar menyetujui rencana perdamaian Trump, yang di dalamnya termasuk merelakan Yerusalem Timur, ibu kota masa depan Palestina, kepada Israel.
Arab Saudi sendiri, setelah Trump mengumumkan keputusan kontroversialnya, mengkritik AS. Riyadh dalam pernyataan resminya mengatakan bahwa keputusan Trump itu "tidak adil dan tak bertanggung jawab" serta merupakan "sebuah langkah mundur besar dalam upaya perdamaian."
Tetapi sejumlah sumber di Palestina mengatakan bahwa Saudi bermuka dua. Saudi diyakini sedang bersama-sama AS menyusun sebuah rencana damai baru antara Israel dan Palestina, yang saat ini sedang dalam tahap awal.
Empat pejabat Palestina, yang tak ingin identitasnya diungkap, mengatakan bahwa Putera Mahkota Saudi, Pangeran Mohammad bin Salman pernah membicarakan rencana yang disusun AS itu dengan Presiden Palestina, Mahmoud Abbas.
Kabarnya rencana perdamaian itu dirancang oleh Trump dan menantunya yang berdarah Yahudi, Jared Kushner. Detil rencana itu disebut akan diumumkan pada paruh pertama 2018, demikian diwartakan Reuters, Sabtu (9/12/2017).
Salah satu pejabat mengatakan bahwa Pangeran Mohammad pernah meminta Abbas untuk mendukung rencana Trump itu dalam sebuah pertemuan di Riyadh pada November lalu.
"Bersabarlah, Anda akan mendengar kabar baik. Proses perdamaian ini akan berjalan," kata Pangeran Mohammad kepada Abbas seperti ditiru oleh seorang pejabat Palestina yang lain.
Rincian Rencana Damai AS-Saudi
Hubungan AS dan Saudi memang lebih mesra sejak Trump berkuasa. Alasannya karena keduanya sama-sama risau dengan pengaruh Iran di kawasan Teluk.