Suara.com - Gerakan Hezbollah di Lebanon mendukung seruan Hamas Palestina untuk melakukan intifada gelombang ketiga untuk melawan Israel.
Intifada tersebut, seperti dilansir Rusia Today, Kamis (7/12/2017), dilakukan sebagai respons atas deklarasi Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
"Respons yang terpenting atas deklarasi itu adalah, seluruh rakyat Palestina dari berbagai agama dan spektrum politik melakukan intifada," kata Sayyid Hasan Nasrallah, pemimpin Hezbollah saat berpidato di televisi.
Selain intifada, kata Sayyid Nasrallah, negara-negara Islam harus segera menggelar pertemuan untuk melakukan deklarasi balasan.
Baca Juga: Arab Saudi Usul Abu Dis Jadi Ibu Kota Palestina
"Kita harus mendeklarasikan bahwa Yerusalem adalah ibu kota abadi Palestina," tegasnya.
Sebelumnya, pemimpin Hamas Ismail Haniyeh, seperti dilansir Independent, menyerukan agar rakyat Palestina lintas faksi menggelar gelombang baru aksi intifada melawan Israel.
"Kami menyerukan kepada seluruh faksi dan rakyat Palestina untuk membangkitkan intifada gelombang ketiga di jalan-jalan untuk melawan zionis Israel," tegas Ismail dalam pidatonya.
Hamas menilai deklarasi Presiden AS Donald Trump mengenai status Yerusalem, merupakan langkah yang sama sekali salah.
"Trump sudah membuka 'gerbang neraka' di Yerusalem," tukasnya.
Baca Juga: Pernah Vaksin Difteri, Perlukah Diulang saat Dewasa?
Ismail mengumumkan Hamas akan menggelar "hari kemarahan" pada Jumat (8/12) hari ini. Aksi protes dan perlawanan lainnya disebut akan dilakukan pada Jumat besok.
Intifada secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang berarti "melepaskan diri". Intifada menjadi istilah untuk melakukan perlawanan di jalanan oleh rakyat Palestina terhadap militer Israel.
Intifada gelombang pertama dimulai pada tahun 1987 dan berakhir pada 1993, yakni ditandai dengan penandatanganan Persetujuan Oslo dan pembentukan Otoritas Nasional Palestina.
Sementara intifada gelombang kedua digelar sejak 29 September 2000 sampai 8 Februari 2005. Intifada tersebut dilakukan karena PM Israel saat itu, Ariel Sharon, dan 1.000 orang bersenjata memasuki lingkungan Masjid Al Aqsa.
Dalam intifada, warga sipil Palestina kerapkali meggunakan ketapel berpeluru batu untuk dilepaskan ke arah militer Israel. Sementara kelompok-kelompok dari Hamas maupun faksi-faksi komunis Palestina juga memakai senjata api.