Etihad Airways Bersikap Diskriminatif pada Penumpang Disabilitas

Kamis, 07 Desember 2017 | 22:13 WIB
Etihad Airways Bersikap Diskriminatif pada Penumpang Disabilitas
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam. [Suara.com/Ummi Hadyah Saleh]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan menyurati Kementerian Perhubungan menyusul adanya diskriminasi terhadap penyandang disabilitas yang dilakukan Etihad Airways terhadap Dwi Aryani.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan dengan mengirimkan surat tersebut diharapkan tidak ada lagi diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.

"Kami akan merespons dan kami akan mengirimkan surat atas keluhan-keluhan tadi kepada Kementerian Perhubungan terutama untuk membereskan bahwa mereka harus dihormati, dan aturan mereka harus sensitif terhadap penyandang disabilitas," ujar Choirul di Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta, Kamis (7/12/2017).

Choirul juga berharap tidak ada lagi maskapai yang meminta penumpang untuk menandatangani surat pernyataan bahwa penumpang dalam kondisi sakit, sehingga maskapai tidak bertanggungjawab kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam perjalanan. Pernyataan tersebut bermaterai Rp6.000.

"Tidak boleh lagi misalnya ada orang tebang dimintakan tanda tangan kalau ada apa-apa itu tanggungjawab sendiri, itu kan tidak boleh. Dan itu melanggar. Sebenarnya penyandang disabilitas bisa gugat, kalau mereka punya inisiatif kami bisa dorong, asistensi, untuk bagaimana gugat yang baik," kata Choirul.

Lebih lanjut, Choirul menjelaskan, di dunia penerbangan internasional sudah aturan yang melarang adanya diskriminatif terhadap penyandang disabilitas seperti dari International Civil Aviation Organization dan The International Air Transport Association.

"Instrumen International ada ICAO ada IATA yang emang melarang diskriminasi. Tidak boleh karena Disability mereka tidak bisa merasakan fasilitas itu semua dan ini bukan hanya untuk penerbangan udara, tapi untuk berbagai level kehidupan," kata Choirul.

Ia menambahkan selain melakukan pembenahan melalui instrumen hukum, perlunya ada kesadaran bagi masyrakat terhadap penyandang disabilitas.

"Memang yang paling penting, ranah struktural adalah pembenahan tata kelola negara melalui instrumen hukum, kedua bikin awareness kepada masyarakat. Di jalan umum, di stasiun kereta api, ada jalan kuning, orang tidak aware kalau itu untuk penyandang disabilitas. Kita semua yang able harus mulai hargai," tandasnya.

Baca Juga: Komnas HAM: Kelompok Bersenjata Jadikan 1300 Warga Sebagai Tameng

Pengacara Dwi Ariyani, Ikhwan Fahrojih menyebut ada kekosongan hukum bagi penyandang disabilitas yang menyebabkan kliennya didiskriminasi.

"Jadi kejadian kemarin tidak lepas dari kekosongan hukum, ketidakpastian hukum bagi penyandang disabilitas," ujar Ikhwan di Kantor Komnas HAM Jakarta, Kamis (7/12/2017).

Ikhwan menuturkan berdasarkan pasal 135 Undang-undang Penerbangan, pemerintah diamanatkan untuk membuat peraturan lebih lanjut, mengenai perlindungan terhadap hak hak disabilitas dalam penggunaan moda transportasi. Pasalnya kata Ikhwan selama ini pemerintah belum membuat aturan mengenai perlindungan penyandang disabiltas sesuai amanat UU penerbangan.

"Oleh karena itu, kami mendorong pemerintah segera membuat peraturan menteri berkaitan perlindungan disabilitas di sektor penerbangan, yang sudah diamanatkan di pasal 135 UU nomor 1 Tahun 2009," kata dia.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Etihad Airways terbukti telah melakukan diskriminasi terhadap penyandang disabiltas Dwi Ariyani dan terbukti melakukan perbuatan melawan hukum pada Senin (4/12/2017).

Etihad Airways sebagai tergugat I dihukum dengan hukuman minta maaf kepada Dwi Ariyani melalui media dan membayar kerugian materiil sebesar sebesar Rp 37 juta dan membayar kerugian imateriil sebesar Rp 500 juta. Dan tergugat II PT Jasa Angkasa Pura dan tegugat Kementerian Perhubungan tidak terbukti melakukan perbuatan hukum

Dwi merupakan penyandang disabilitas yang menggugat pihak Etihad atas perlakuan diskriminatif Etihad Airways dan pihak lain yakni PTJasa Angkasa Pura dan Kementerian Perhubungan.

Perlakuan diskriminatif yang dialami Dwi bermula pada Maret 2016, Dwi yang naik Etihad yang hendak ke Genewa, Swiss mendapat undangan International Disability Alliance untuk menghadiri pelatihan tentang "Pendalaman Implemtasi dan Pemantauan Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas. Ketika itu, crew Etihad Airways telah menurunkan Dwi dalam badan pesawat Etihad Airways dan tidak mengizinkan terbang.

Kondisi disabilitas Dwi oleh crew Etihad dinilai sangat membahayakan keselamatan penerbangan, karena tidak mampu melakukan evaluasi diri bilamana pesawat dalam keadaan darurat.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan menyurati Kementerian Perhubungan menyusul adanya diskriminasi terhadap penyandang disabilitas yang dilakukan Etihad Airways terhadap Dwi Aryani.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan dengan mengirimkan surat tersebut diharapkan tidak ada lagi diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.

"Kami akan merespons dan kami akan mengirimkan surat atas keluhan-keluhan tadi kepada Kementerian Perhubungan terutama untuk membereskan bahwa mereka harus dihormati, dan aturan mereka harus sensitif terhadap penyandang disabilitas," ujar Choirul di Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta, Kamis (7/12/2017).

Choirul juga berharap tidak ada lagi maskapai yang meminta penumpang untuk menandatangani surat pernyataan bahwa penumpang dalam kondisi sakit, sehingga maskapai tidak bertanggungjawab kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam perjalanan. Pernyataan tersebut bermaterai Rp6.000.

"Tidak boleh lagi misalnya ada orang tebang dimintakan tanda tangan kalau ada apa-apa itu tanggungjawab sendiri, itu kan tidak boleh. Dan itu melanggar. Sebenarnya penyandang disabilitas bisa gugat, kalau mereka punya inisiatif kami bisa dorong, asistensi, untuk bagaimana gugat yang baik," kata Choirul.

Lebih lanjut, Choirul menjelaskan, di dunia penerbangan internasional sudah aturan yang melarang adanya diskriminatif terhadap penyandang disabilitas seperti dari International Civil Aviation Organization dan The International Air Transport Association.

"Instrumen International ada ICAO ada IATA yang emang melarang diskriminasi. Tidak boleh karena Disability mereka tidak bisa merasakan fasilitas itu semua dan ini bukan hanya untuk penerbangan udara, tapi untuk berbagai level kehidupan," kata Choirul.

Ia menambahkan selain melakukan pembenahan melalui instrumen hukum, perlunya ada kesadaran bagi masyrakat terhadap penyandang disabilitas.

"Memang yang paling penting, ranah struktural adalah pembenahan tata kelola negara melalui instrumen hukum, kedua bikin awareness kepada masyarakat. Di jalan umum, di stasiun kereta api, ada jalan kuning, orang tidak aware kalau itu untuk penyandang disabilitas. Kita semua yang able harus mulai hargai," tandasnya.

Pengacara Dwi Ariyani, Ikhwan Fahrojih menyebut ada kekosongan hukum bagi penyandang disabilitas yang menyebabkan kliennya didiskriminasi.

"Jadi kejadian kemarin tidak lepas dari kekosongan hukum, ketidakpastian hukum bagi penyandang disabilitas," ujar Ikhwan di Kantor Komnas HAM Jakarta, Kamis (7/12/2017).

Ikhwan menuturkan berdasarkan pasal 135 Undang-undang Penerbangan, pemerintah diamanatkan untuk membuat peraturan lebih lanjut, mengenai perlindungan terhadap hak hak disabilitas dalam penggunaan moda transportasi. Pasalnya kata Ikhwan selama ini pemerintah belum membuat aturan mengenai perlindungan penyandang disabiltas sesuai amanat UU penerbangan.

"Oleh karena itu, kami mendorong pemerintah segera membuat peraturan menteri berkaitan perlindungan disabilitas di sektor penerbangan, yang sudah diamanatkan di pasal 135 UU nomor 1 Tahun 2009," kata dia.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Etihad Airways terbukti telah melakukan diskriminasi terhadap penyandang disabiltas Dwi Ariyani dan terbukti melakukan perbuatan melawan hukum pada Senin (4/12/2017).

Etihad Airways sebagai tergugat I dihukum dengan hukuman minta maaf kepada Dwi Ariyani melalui media dan membayar kerugian materiil sebesar sebesar Rp 37 juta dan membayar kerugian imateriil sebesar Rp 500 juta. Dan tergugat II PT Jasa Angkasa Pura dan tegugat Kementerian Perhubungan tidak terbukti melakukan perbuatan hukum

Dwi merupakan penyandang disabilitas yang menggugat pihak Etihad atas perlakuan diskriminatif Etihad Airways dan pihak lain yakni PTJasa Angkasa Pura dan Kementerian Perhubungan.

Perlakuan diskriminatif yang dialami Dwi bermula pada Maret 2016, Dwi yang naik Etihad yang hendak ke Genewa, Swiss mendapat undangan International Disability Alliance untuk menghadiri pelatihan tentang "Pendalaman Implemtasi dan Pemantauan Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas. Ketika itu, crew Etihad Airways telah menurunkan Dwi dalam badan pesawat Etihad Airways dan tidak mengizinkan terbang.

Kondisi disabilitas Dwi oleh crew Etihad dinilai sangat membahayakan keselamatan penerbangan, karena tidak mampu melakukan evaluasi diri bilamana pesawat dalam keadaan darurat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI