Ia mengatakan bahwa langkah tersebut akan memundurkan proses perdamaian berpuluh-puluh tahun serta mengancam stabilitas kawasan, dan mungkin stabilitas dunia.
Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani, mengatakan pengakuan Trump atas Yerusalem merupakan "hukuman mati bagi siapa pun yang mengupayakan perdamaian" dan menyebut langkah itu sebagai "peningkatan (ketegangan) yang berbahaya".
Mesir, yang memajukan kesepakatan perdamaian pertama antara Arab dan Israel pada 1979, menentang keputusan Trump dan mengatakan bahwa pengakuan presiden AS itu tidak mengubah status hukum Yerusalem yang disengketakan.
Jordania, negara Arab kedua yang membuat perdamaian dengan Israel pada 1994, mengatakan langkah Trump merupakan tindakan yang "gugur secara hukum" karena keputusannya itu merupakan penguatan terhadap pendudukan Israel di wilayah timur kota, yang disengketakan dalam perang Timur Tengah pada 1967.
Baca Juga: Reaksi Paus Jelang Trump Restui Yerusalem Ibukota Israel
Turki menyebut pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai langkah "yang tidak bertanggung jawab".
Iran "sangat mengutuk" langkah Trump karena pengakuannya itu melanggar resolusi-resolusi PBB terkait konflik Israel-Palestina.
Pemimpin Agung Ayatollah Ali Khamenei sebelumnya mengatakan bahwa Amerika Serikat sedang berupaya menimbulkan ketidakstabilan di kawasan dan memulai perang untuk melindungi keamanan Israel.
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan ia tidak mendukung langkah "sepihak" Trump.
"Keputusan ini patut disayangkan dan Prancis tidak setuju. (Pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel) bertentangan dengan semua resolusi Dewan Keamanan PBB," kata Macron di Aljir.
Baca Juga: Uni Eropa Desak AS Tak Akui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel
"Status Yerusalem merupakan masalah keamanan internasional yang mengkhawatirkan masyarakat internasional. Status Yerusalem harus ditentukan oleh Israel dan Palestina dalam kerangka perundingan di bawah pengawasan PBB," tegas Macron.