Suara.com - Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri, Selasa (5/12/2017), membatalkan pengunduran dirinya, menekankan posisi negara itu di bawah krisis selama satu bulan, yang dipicu pengumumannya dari Riyadh bahwa dia mengundurkan diri dan keberadaanya di luar Lebanon selama berminggu-minggu.
Pemerintahan koalisinya, yang mencakup kelompok Hizbullah dukungan Iran, menegaskan kembali kebijakan negara untuk tetap berada di luar konflik negara-negara Arab.
Sekutu Saudi Hariri menuduh Hizbullah sebagai agen Iran yang melancarkan perang melintasi Timur Tengah.
Pengunduran diri Hariri yang mengejutkan telah mendorong Lebanon ke garis depan pertikaian regional antara Arab Saudi dan Iran, yang telah berlangsung di medan perang di Suriah, Irak dan Yaman.
Baca Juga: Sempat 'Ngungsi' di Arab Saudi, Hariri Sudah Kembali ke Lebanon
Pejabat Lebanon mengatakan bahwa Arab Saudi telah memaksa Hariri, sekutu lama Saudi, mengundurkan diri dan menempatkannya di bawah tahanan rumah sampai intervensi Prancis membuatnya kembali ke Lebanon. Arab Saudi dan Hariri telah membantah tuduhan-tuduhan itu.
Presiden Michel Aoun, sekutu Hizbullah, menolak menerima pengunduran diri Hariri saat dia berada di luar negeri.
Kekhawatiran Saudi atas pengaruh yang dipegang oleh Muslim Syiah Iran dan Hizbullah di negara-negara Arab lainnya telah banyak dipandang sebagai akar penyebab krisis, yang menimbulkan kekhawatiran akan stabilitas ekonomi dan politik Lebanon.
Kebijakan "pemisahan" Lebanon dari konflik negara-negara Arab diumumkan pada 2012 untuk menjaga agar negara yang terpecah itu keluar dari konflik regional seperti perang saudara di negara tetangga, Suriah.
Terlepas dari kebijakan tersebut, Hizbullah sangat terlibat di sana, mengirim ribuan petempur untuk membantu Presiden Bashar al-Assad.
Baca Juga: Dianggap Teroris oleh Liga Arab, Lebanon Bela Hizbullah
Dalam pertemuan pertamanya sejak pengunduran diri Hariri, kabinet pada Selasa menegaskan kembali komitmen terhadap kebijakan tersebut.