Suara.com - Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan polisi giat mendukung lembaga pengawas narkotika dalam perang menumpas narkotika, kata juru bicaranya pada Selasa (6/12/2017), dengan alasan obat terlarang kembali merebak.
Badan Pengawas Obat Filipina (PDEA) akan tetap menjadi lembaga utama dalam perang melawan narkotika, namun juru bicara tersebut, Harry Roque, mengatakan bahwa polisi dan lembaga lain akan melanjutkan memberikan dukungan penuh kepada PDEA, dengan mengutip memorandum, yang ditandatangani Duterte.
Duterte pada awalnya menangguhkan gerakan penumpasan kejahatan narkotika oleh polisi pada Januari, setelah tindakan polisi dipertanyakan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Namun, ia menempatkan kembali polisi lima minggu kemudian, dengan alasan bahwa obat beredar kembali di jalanan, akan tetapi kemudian menarik mereka dari kegiatan tersebut kembali pada Oktober dan menjadikan PDEA sebagai satu-satunya lembaga penanggung jawab gerakan penumpasan kejahatan narkotika.
Baca Juga: Presiden Duterte Kesal kepada PM Kanada Justin Trudeau
Polisi mengatakan hampir 4.000 orang telah tewas dalam operasi anti-narkoba mereka.
Kelompok hak asasi manusia dan lawan politiknya mengatakan eksekusi terhadap pengguna narkoba dan pedagang kecil telah meluas, namun polisi mengatakan bahwa yang tewas adalah semua pengedar yang melakukan perlawanan kekerasan.
Polisi telah menolak kritik tersebut dan menyebutkan 117 ribu penangkapan sebagai bukti bahwa mereka membawa tersangka hidup-hidup.
Mereka juga menolak dikaitkan dengan setidaknya 2.000 kasus pembunuhan pengguna narkoba jalanan yang tidak terungkap.
Sejak PDEA memimpin pada 11 Oktober, Roque mengatakan bahwa hanya satu tersangka narkoba yang terbunuh dalam operasi anti-narkoba.
Baca Juga: Trump dan Duterte Akhirnya Bertemu di KTT APEC
Badan penegakan obat hanya memiliki sebagian kecil tenaga kerja dari 190 ribu polisi yang kuat.
Roque, yang membaca perintah, yang dikeluarkan Duterte, mengatakan bahwa PDEA "sangat terhambat dalam menjalankan mandat besarnya dengan ketiadaan sumber daya, khususnya lembaga dan pekerja, yang dapat menembus daerah obat terlarang". (Antara)