Suara.com - Kasus perkelahian anak yang berujung pada kematian di Kabupaten Bandung menyisakan keprihatinan yang mendalam. Selain korban meninggal dunia, pelakunya yang juga masih anak-anak dikabarkan mengalami depresi.
Untuk kasus tersebut, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Jawa Barat fokus pada pendampingan pemulihan kondisi psikologis, baik keluarga korban, anak-anak di lingkungan sekolah, maupun pelaku.
"Salah satu tugas dan fungsi kami di P2TP2A adalah pendampingan psikologis. Untuk (kasus) ini, pelakunya kan anak-anak, jadi perlu pendampingan agar tidak terjadi hal-hal lain yang berdampak lebih buruk. Meski sebagai pelaku, anak adalah hasil didikan orang dewasa dan lingkungan di sekitarnya," kata Ketua P2TP2A Jawa Barat Netty Prasetiyani, .
Netty menegaskan bahwa pendampingan ini bukan berarti membela perbuatan pelaku dari aspek hukum.
"Hukum silakan berjalan sesuai koridor hukum. Kami hanya memastikan bahwa proses hukumnya harus sesuai dengan sistem peradilan anak yang diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012," kata dia.
Bagaimana pun anak masih memiliki masa depan yang panjang. Tentu penanganan kasus yang melibatkan anak sebagai korban atau pelaku harus berbeda dengan kasus orang dewasa. Para penegak hukum yang menangani kasus anak-anak, misalnya tidak memakai seragam, menghindari pelabelan negatif, dan lebih disukai apabila hakim yang bertugas tersertifikasi SPPA.
Dalam UU SPPA ada yang disebut mekanisme diversi atau keadilan restoratif (restorative justice); sebuah pendekatan yang memfokuskan pada kebutuhan korban dan pelaku dengan melibatkan peran serta masyarakat. Keadilan restoratif ini merupakan upaya mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan yang boleh jadi menggunakan pendekatan hukum adat masyarakat yang fleksibel tanpa meninggalkan upaya pembinaan terhadap pelaku.
"Ketika berkoordinasi dengan P2TP2A Kabupaten Bandung, saya mendapat informasi bahwa keluarga korban sudah mengikhlaskan, menganggap peristiwa itu sebagai musibah," ujar ibu enam orang anak ini.
Jika keluarga korban mengikhlaskan perkara itu dan tidak meneruskan ke ranah hukum, maka secara UU perkara itu sah untuk tidak dilanjutkan.
Dengan tidak diteruskannya kasus ini ke ranah hukum, maka fokus penanganan kasus ini lebih pada pemulihan psikologis pelaku.