Mereka yang Keluar dari Islam setelah Tragedi WTC 9/11

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 04 Desember 2017 | 18:52 WIB
Mereka yang Keluar dari Islam setelah Tragedi WTC 9/11
Muhammad Syed (kiri) dan Sarah Haider (kanan). [YouTube]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Muslim yang memutuskan keluar dari agama Islam, biasanya menutup rapat-rapat identitasnya.

Namun, seperti dilansir BBC.com, sejumlah eks-Muslim di Amerika serikat secara terbuka berkeliling ke seantero negeri 'Pakde Sam' untuk membantu orang-orang yang keluar dari Islam.

Hal itu seperti yang dilakukan aktivis Ex-Muslim of North America, Muhammad Syed. Sejak 10 tahun silam, Syed memutuskan keluar dari Islam.

Baca Juga: SOKSI Deklarasi Dukung Airlangga Calon Ketum Partai Golkar

Syed lahir di AS, tapi ia tumbuh besar di Pakistan dan "100 persen" menjalani peraturan Islami.

"Saat itu tak ada keraguan sedikit pun. Semua orang di lingkunganku juga sangat yakin," tuturnya kepada BBC, Rabu (29/11/2017) pekan lalu.

Ia lantas menceritakan babak-babak kehidupannya hingga memutuskan tak lagi memeluk Islam. Syed mengungkapkan, keyakinan spiritualnya berubah 180 derajat pada tahun 2007. Sejak saat itu, ia mengakui tak lagi memercayai apa pun.

Ketika masih bocah, Syed menuturkan sangat menyukai astronomi, program-program luar angkasa, berikut pula film bernuasa antariksa seperti "Star Trek" ataupun "Star Wars".

Ia mengklaim diri sebagai seorang liberal. Sementara orang tuanya merupakan sarjana jenjang doktoral.

Baca Juga: Bali United Rekrut Dua Pemain Timnas U-19 Ini

Syed kembali ke AS pada usia 20-an, beberapa bulan sebelum tragedi 9 September 2001, yakni runtuhnya menara kembar World Trade Center AS oleh serangan teroris Al Qaeda.

Ketika AS menggelar kampanye perang melawan teroris, Syed bergabung dalam aksi-aksi protes peperangan tersebut.

Pada waktu bersamaan, seorang temannya yang juga dari Pakistan justru menjadi kebalikan dirinya: "ultra-konservatif".

"Ada kenalanku sewaktu sekolah menengah. Kami dulu satu sekolah. Dulu dia juga seorang liberal. Tapi ketika kembali bertemu di AS, dia sudah memanjangkan janggut," ungkapnya.

Penampilan baru sohib masa ABG-nya itu membuat Syed "ketakutan".

"Dia menjadi orang yang menyukai membahas tentang siksa kubur. Dia mengatakan semua itu nyata dan sudah ada yang menyaksikan. Cara berpikir takhayul. Sebagai orang berlatar belakang akademis, obrolannya itu agak aneh," tuturnya.

Terpicu perubahan temannya itu, Syed lantas memutuskan setahun secara mendalam mempelajari agama. Ia khusyuk mempelajari Alquran, Hadis, dan kitab-kitab lain agamanya.

"Waktu itu, perspektifku adalah ingin menampilkan wajah Islam yang humanis dan ilmiah, seperti yang diutarakan banyak orang kepada kita semua," terangnya.

"Aku bertekad menunjukkan kepada temanku itu bahwa perspektifnya itu salah. Tapi, ketika aku mempelajari secara mendalam, justru semakin jelas bahwa cara pandang temanku itulah perspektif sebenarnya. Dia benar, dan aku salah," nilainya.

Pada periode yang sama, cerita Syed, ia makan malam bersama teman lainnya yang baru sembuh dari penyakit leukemia.

"Dia waktu itu memuji Tuhan atas kepulihannya. Tapi dalam pikiranku, aku berpikir tentang probabilitas kemungkinan orang sembuh dari leukemia. Ada persentase pasti mengenai hal itu," bebernya.

Syed lantas berpikir, "Bagaimana dia bisa mengetahui bahwa Tuhan adalah pihak yang menyelamatkannya, sementara dia bisa saja masuk dalam persentase penderita leukemia yang bisa sembuh."

Pertemuan dengan rekan mantan penderita leukemia itulah yang diklaim Syed mengubah cara berpikirnya.

"Pada titik itu aku mengetahui apa yang ia katakan sangat fantastis. Itu tidaklah nyata. Sebenarnya (leukemia) itu masalah  probabilitas. Sejak itu aku berpikir, aku menyadari hal itu salah. Aku menyadari hal itu sudah lama, tapi tak pernah mengakuinya," jelasnya.

Namun, Syed menegaskan keluar dari Islam bukan karena dasar secara sadar memutuskan untuk memilih hal tersebut.

"Ini bukanlah persoalan apakah kita ingin atau tidak ingin beriman. Seperti Anda mengerti persamaan Newton untuk gravitasi. Nah, kalau Anda memahaminya, maka Anda pasti memahaminya," tuturnya beretorika.

Syed mengakui merasa beruntung karena menjadi anggota keluarga yang disebutkan "relatif liberal". Karenanya, ia memutuskan untuk memberitahukan kepada seluruh keluarga bahwa sudah keluar dari Islam.

"Ibuku adalah sosok yang terbuka pikirannya mengenai segala sesuatu. Ya aku tak langsung memberitahukan mereka. Butuh waktu beberapa pekan, sebulan atau dua bulan sampai aku memberitahukan mereka," ungkapnya.

Ternyata, pengakuan Syed membuat kedua orang tuanya traumatis dan terkejut.

Pada banyak negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim atau negara yang menjadikan Islam sebagai keyakinan resmi, murtad adalah kriminalitas.

Laporan tahun 2016 yang dikutip BBC menunjukkan, orang-orang yang keluar dari Islam atau menjadi ateis bisa divonis hukuman mati di 13 negeri mayoritas Muslim.

"Tapi jika Anda mencintai seseorang, Anda ingin yang terbaik untuk mereka," tutur Syed mengiaskan pendirian orang tuanya.

Sejak menjadi seorang ateis, Syed mengakui lebih bersifat terbuka dan berani menyebar hal itu kepada rekan-rekannya.

Membangun Ex-MNA

Jalan hidup Syed kembali berubah ketika ia bersamuh seorang perempuan bernama Sarah Haider dalam sebuah acara.

Sarah lahir di Pakistan tapi tumbuh besar di Texas. Sarah ternyata jauh mendahului Syed. Ia telah menyatakan keluar dari Islam sejak berusia 15 atau 16 tahun.

"Aku sempat tak percaya ketika bertemu Syed dan ia mengatakan dirinya adalah ateis. Kupikir ia bercanda. Tapi ketika dia bersungguh-sungguh, aku terkejut," kenang Sarah mengenai pertemuan pertamanya dengan Syed.

Berbeda dengan Syed, Sarah menceritakan orang tuanya tergolong "Konservatif kalau diperbandingkan dengan orang tua di negara Barat umumnya. Tapi mereka liberal dibanding orang tua Muslim."

Sarah mengatakan, orang tuanya tak pernah menghukum dirinya ketika menyatakan keluar dari Islam. Tapi, orang tuanya juga tak bergembira saat mengetahui keputusannya itu.

"Waktulah yang membuat orang tuaku memahami, bahwa semua ini adalah pilihan intelektualitasku, dan mereka meyakini harus menghormati hal tersebut," tukasnya.

Sarah mengakui banyak mengetahui rekan-rekannya sesama eks-Muslim yang tak sedikit "dibuang" keluarga.

Merasa senasib sepenanggungan, Sarah dan Syed memutuskan untuk mencari dan berkenalan dengan mantan-mantan Muslim lainnya.

Setelah merintis komunikasi melalui dunia maya, Syed dan Sarah mengajak mantan-mantan Muslim kenalannya bertemu.

"Tidak mudah, bahkan amat menakutkan bagi mereka untuk bertemu. Kami harus berhati-hati, membujuk mereka melalui telepon untuk mau bertemu. Mereka khawatir menjadi sasaran kaum fundamentalis," terangnya.

Syed menambahkan kisah pengalaman yang dituturkan Sarah mengenai pertemuan pertama sesama eks-Muslim.

"Awalnya aku kurang setuju pada ide pertemuan itu. Sangat menegangkan. Bahkan, saat pertemuan, ada orang yang masuk kamar mandi lama sekali. Aku bercanda kepada Sarah dengan mengatakan, 'mungkin orang itu tengah menyiapkan senjatanya untuk kita," tutur Syed.

Namun, kekhawatiran mereka tak terbukti. Orang yang lama masuk kamar mandi itu keluar dan kembali mengikuti "kopi darat" tersebut.

Hal yang mengejutkan Sarah dan Syed adalah, pertemuan itu ramai tersebar dan menarik perhatian eks-Muslim lainnya untuk bergabung.

"Dalam pertemuan, tak sedikit dari teman-teman yang menceritakan pengalaman buruknya sembari menangis," tukas Syed.

Karena semakin banyak yang mengikuti pertemuan, Syed dan Sarah memunyai ide lain, yakni mengadakan pertemuan-pertemuan serupa di kota-kota lain.

Akhirnya, tahun 2013, mereka membangun organisasi "Ex-Muslim of North America" atau disingkat "Ex-MNA", yang bermisi menaungi orang-orang murtad.

Tahun demi tahun mereka merintis Ex-MNA untuk menolong sesama, hingga akhirnya mampu menghimpun 1.000 mantan Muslim yang tersebar di 25 kota AS.

Sejak memimpin kelompok tersebut, Syed dan Sarah sering malam-malam ditelepon oleh mantan Muslim yang mengakui menjadi sasaran kekerasan karena keputusan mereka. Ada juga yang tak kuat menjadi korban persekusi sehingga hendak bunuh diri.

Tak hanya itu, Sarah dan Syed juga banyak menerima ancaman dari orang-orang yang tak menyukai aktivitas mereka.

"Ya,ancaman itu biasanya dikirim kepada kami melalui media sosial atau surat elektronik," tukas Syed.

***

Suatu Minggu malam di ibu kota AS, Washington DC, satu polisi duduk di pintu ruangan bernomor 309 di Marvin Center, George Washington University.

Polisi itu menjaga sekitar 50 orang di dalam ruang pertemuan. Puluhan perempuan, laki-laki, pemuda maupun orang tua dan lintas ras, tampak menunggu kunjungan aktivis Ex-MNA.

Pada pertemuan itu, Syed tampil sebagai pembicara. Ia juga ditemani eks-Muslim dari Inggris, Imtiaz Shams, yang juga aktivis Faith to Faithless. Organisasi ini membantu orang-orang yang mau terlepas dari agamanya.

Dalam pertemuan tersebut, Syed mengkritik Islam dari berbagai aspeknya. Namun, ia juga mengakui tak semua ajaran Islam buruk.

"Ada keindahan dalam Islam yang bisa kalian temukan. Ya, Islam adalah campuran dari banyak gagasan. Satu dari beberapa kebaikan Islam adalah, menekankan agar senantiasa beramal sedekah," tuturnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI