Suara.com - Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia Dino Patti Djalal mengatakan wajah dan modus operandi kelompok teroris serta ekstremis di Indonesia sudah berubah jika dibandingkan dengan kelompok Abu Bakar Basyir sekitar 20 tahun lalu.
"Model rekrutmennya berubah, targetnya berubah, cara pendanaannya juga berubah, cara sosialisasinya juga berubah, cara baiatnya berubah, struktur organisasinya juga berubah. Jadi kita harus menyesuaikan dengan situasi yang berubah ini," kata Dr. Dino Patti Djalal usai menjadi pembicara di Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu (3/12/2017).
Mantan Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat itu diundang oleh KL International Youth Discourse 2017 di PWTC untuk berbicara tentang "Regional Efforts Against Extremism" yang dibuka oleh Perdana Menteri Malaysia Dato' Sri Najib Tun Razak.
Menurut Dino, terjadinya perubahan-perubahan tersebut juga disampaikan oleh pembicara dari Rajaratnam School Of International Studies Dr. Sashi Jayakumar.
Baca Juga: Slank Nyatakan Lawan Radikalisme di Dunia Maya
"Dahulu Jamaah Islamiyah membutuhkan waktu 2 tahun untuk indoktrinasi sekarang jauh lebih cepat. Dahulu dibaiat oleh ustaz, sekarang bisa 'online'. Dahulu 'funding'-nya Alqaeda dari Osama bin Laiden, seperti bom Bali. Kalau sekarang, 'funding' sendiri. Mereka mencari uang sendiri," katanya.
Kalau dahulu pemimpin spiritualnya Abubakar Basyir, lanjut dia, sekarang lebih otonom dan terdesentralisasi.
Ia mengatakan bahwa Aman Abdulrahman menjadi sumber spiritualnya. Akan tetapi, sekarang sudah ditangkap dan sekarang hampir semua kelompok itu pro-ISIS.
Sekarang yang menarik ISIS, kata Dino, sudah dikalahkan secara militer di Timur Tengah, lantas bagaimana pengaruhnya di Indonesia yang pro-ISIS? "Kalau tidak salah, sekitar 20 grup kecil-kecil di Indonesia yang pro-ISIS," katanya.
Tantangan bagi Indonesia sekarang, menurut dia, adalah bagaimana memonitor orang-orang ISIS yang kembali dari Timur Tengah, ada beberapa ratus orang.
Baca Juga: Survei Potensi Radikalisme, Bengkulu Tertinggi
Menurut hukum di Indonesia, kata Dino, mereka tidak bisa ditahan. Hal ini berbeda dengan Malaysia.
"Jadi, bagaimana agar mereka kembali tetapi tidak menimbulkan ancaman bagi masyarakat dan negara?" katanya.
Dino mengatakan bahwa program deradikalisasi tepat sekali kalau penerapannya dengan baik, apalagi berdasarkan data dari 700 orang yang menjalani deradikalisasi yang melakukan kembali teror sekitar enam orang.
Menurut dia, kerja sama regional antarnegara sangat perlu dalam memberantas terorisme karena pelakunya transnasional.
Ia lantas mengomentari pidato Menteri Pertahanan Malaysia Datuk Seri Hishammuddin. Menurutnya, Datuk Seri Hishammuddin enggak pernah meledek "ganyang asing".
Keamanan Malaysia akan terjamin kalau bisa kerja sama dengan tetangga dengan barat juga. Semangat xenophobianya, kata Dino, enggak kelihatan.
"Di tempat kita masih ada antiasing. Merasa kita akan diobrak-abrik. Kalau ada tantangan, kita melihat tetangga sebagai mitra bukan sebagai saingan," katanya.
Dino mengatakan bahwa penyebaran ekstremisme melalui media sosial di kalangan anak muda juga harus dilawan secara kreatif di "online" dengan masuk ke Telegram, Chat, dan sebagainya. (Antara)