Suara.com - Berita-berita hoaks bertebaran di media massa daring (online) maupun media-media sosial pada era internet. Namun, siapa sangka bahwa berita-berita bohong tersebut sudah ada sejak era pra-internet.
Ihwal berita hoaks bisa dilacak hingga pada awal abad ke-20. Persisnya ketika kapal RMS Titanic menabrak gunung es di perairan Samudera Atlantik Utara, 14 April 1912.
Ketika itu, anak buah kapal Titanic menggunakan teknologi telegrafi untuk tidak hanya meminta bantuan, tapi juga memberikan kabar terbaru mengenai situasi di sana.
Baca Juga: Ketua MUI Imbau Umat Tak Ikut Reuni 212
Telegram yang belum diverifikasi dan tidak ditandatangani itu dikirim ke Fleet Street, wilayah tempat mayoritas kantor-kantor berita terkenal dunia bermarkas hingga era 1980-an.
Oleh banyak surat kabar, telegram-telegram tersebut dijadikan sumber informasi untuk mengolah berita bahwa "Titanic tidak bakal tenggelam dan bakal bertahan setelah menabrak gunung es." Tapi, tak lama, kapal itu justru tenggelam.
Analis media dan sejarawan menilai, pemberitaan mengenai insiden Titanic itulah yang bisa dikatakan sebagai tonggak pertama berita hoaks.
Hal itulah yang diangkat sebagai tema utama pameran mengenai "Sejarah berita hoaks", yang digelar di National Science and Media Museum, Bradford, Inggris, sejak November 2017 hingga 28 Januari 2018.
Baca Juga: Amerika Serikat Tak Akui Bantai Bocah dan Warga Somalia
"Ini adalah pameran tak biasa yang digelar museum, yakni mengangkat tema eksibisi yang masih hangat atau berlangsung kekinian," kata John O'Shea, manajer pameran itu, seperti dilansir Independent.
"Kami selalu memikirkan mengenai pengunjung kami dan pemahaman mereka mengenai subjek yang dipamerkan. Kami juga berusaha untuk memberikan informasi dan merangsang mereka untuk ikut memikirkan subjek tentang hoaks ini," tambahnya.
O'Shea menuturkan, pameran ini digelar pada November juga untuk memperingati kali pertama diksi "fake news/hoax" masuk dalam Kamus Bahasa Inggris (Collins Dictionary).
Dalam kamus itu, "fake news" diartikan sebagai berita "salah, seringkali sensasional, dan penyebaran informasi di balik kedok sebagai berita hasil peliputan".
"Tapi, melalui pameran ini, kami ingin mereferensikan bahwa apa yang kekinian kita sebut sebagai 'fake news' atau hoaks sebenarnya sudah lama terjadi di banyak negara. Bahkan, bisa dilacak hingga pada masa manusia kali pertama berkomunikasi," tutur O'Shea.
Ia mengatakan, pada peradaban kuno Tiongkok misalnya, sudah ditemukan "bisikan" atau desas-desus yang pada era kontemporer termasuk hoaks.
Cerita atau hikayat-hikayat kuno juga mengalami distorsi setelah kali berulang dikisahkan lintas generasi.
"Atau cerita anjing shaggy misalnya, selalu mendapat penambahan atau dibesar-besarkan. Cerita selalu dihias dengan cara tertentu untuk mendorong agenda tertentu," jelasnya.
Tapi, kata dia, pemahaman modern tentang berita palsu lebih banyak berhubungan dengan teknologi yang ada di balik media.
"Ada perubahan mendasar pada era kekinian, kemunculan internet. Di dalamnya ada infrastruktur seperti Facebook, Twitter, Buzzfeed, yang menjelma sebagai media massa berbeda dari awal abad ke-20. Hal itu bersinggungan dengan peristiwa sosial dan politik, sehingga menciptakan 'badai berita bohong' maha dahsyat," tuturnya.
O'Shea lantas mengungkapkan lima hal yang berkontribusi terhadap maraknya peredaran informasi ataupun berita hoaks di media sosial maupun media massa.
Kelima aspek tersebut ialah: keuntungan politik; kesalahan pelaporan; informasi viral; keuntungan finansial; dan, kecenderungan orang untuk tidak membiarkan suatu kebenaran menghalangi alur cerita yang dianggapnya bagus.
Menurutnya, tragedi Titanic menjadi contoh terbaik penyebaran hoaks lantaran adanya kesalahan pelaporan informasi.
Pola yang sama terjadi pada era medsos kekinian, di mana banyak warganet menyebar informasi yang terjadi sudah salah sejak awal.
Sementara hoaks yang berasal dari informasi viral di medsos kekinian, sejarahnya bisa dilacak pada Juli tahun 1917.
Ketika itu, dunia dihebohkan oleh foto dua orang bocah perempuan yang berpose bersama peri-peri kecil di kota Bradford, Inggris. Foto itu dibuat oleh kedua orang tua mereka untuk lelucon.
Pada satu pertemuan kelompok teosofi, sang ibu menunjukkan foto lelucon itu kepada banyak orang, termasuk Arthur Conan Doyle—pencipta tokoh detektif terkenal Sherlock Holmes.
Tak disangka, setelah foto itu dipertunjukkan dalam pertemuan tersebut, desas-desus mengenai kebenaran peri pada foto itu tersebar ke publik dan menghebohkan dunia.
"Sama saja seperti yang dilakukan warganet atau bahkan jurnali yang malas memverifikasi kebenaran suatu informasi atau foto viral di medsos. Tak ada yang baru dalam persoalan ini. Karenanya, setiap informasi atau foto viral terlebih dulu harus diverifikasi," katanya.
Ia menjelaskan, pemikiran orang-orang atau jurnalis kekinian yang menyebar hoaks atau berita tanpa verifikasi juga bukan hal baru.
O'Shea mengungkapkan, sudah sejak lama "komunitas Fleet Street" memunyai jargon "jangan pernah membiarkan fakta masuk dan menghalangi suatu cerita bagus" (never let the facts get in the way of good story).
Menurutnya, peredaran informasi maupun berita hoaks itu hanya bermuara pada dua kanal: kepentingan politik atau kepentingan profit.
Namun, maraknya hoaks tersebut menurutnya tidak bisa diartikan sebagai akhir tragis kehidupan media massa dan informasi pada era digital.
"Sebab, banyak media baru di dunia yang mencoba mendorong pemirsanya untuk berpikir, dari mana berita itu berasal; siapa yang mengeluarkannya; dan apa motif faktual berita tersebut," tandasnya.