Riwayat Berita Hoaks, dari Tiongkok Kuno hingga Era Internet

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 01 Desember 2017 | 13:07 WIB
Riwayat Berita Hoaks, dari Tiongkok Kuno hingga Era Internet
Salah satu foto yang dipamerkan dalam eksibisi "sejarah hoaks" di National Science and Media Museum, Bradford, Inggris, sejak November 2017 hingga 28 Januari 2018. [National Science and Media Museum / SSPL/Independent]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sementara hoaks yang berasal dari informasi viral di medsos kekinian, sejarahnya bisa dilacak pada Juli tahun 1917.

Ketika itu, dunia dihebohkan oleh foto dua orang bocah perempuan yang berpose bersama peri-peri kecil di kota Bradford, Inggris. Foto itu dibuat oleh kedua orang tua mereka untuk lelucon.

Pada satu pertemuan kelompok teosofi, sang ibu menunjukkan foto lelucon itu kepada banyak orang, termasuk Arthur Conan Doyle—pencipta tokoh detektif terkenal Sherlock Holmes.

Tak disangka, setelah foto itu dipertunjukkan dalam pertemuan tersebut, desas-desus mengenai kebenaran peri pada foto itu tersebar ke publik dan menghebohkan dunia.

Baca Juga: Ketua MUI Imbau Umat Tak Ikut Reuni 212

"Sama saja seperti yang dilakukan warganet atau bahkan jurnali yang malas memverifikasi kebenaran suatu informasi atau foto viral di medsos. Tak ada yang baru dalam persoalan ini. Karenanya, setiap informasi atau foto viral terlebih dulu harus diverifikasi," katanya.

Ia menjelaskan, pemikiran orang-orang atau jurnalis kekinian yang menyebar hoaks atau berita tanpa verifikasi juga bukan hal baru.

O'Shea mengungkapkan, sudah sejak lama "komunitas Fleet Street" memunyai jargon "jangan pernah membiarkan fakta masuk dan menghalangi suatu cerita bagus" (never let the facts get in the way of good story).

Menurutnya, peredaran informasi maupun berita hoaks itu hanya bermuara pada dua kanal: kepentingan politik atau kepentingan profit.

Namun, maraknya hoaks tersebut menurutnya tidak bisa diartikan sebagai akhir tragis kehidupan media massa dan informasi pada era digital.

Baca Juga: Amerika Serikat Tak Akui Bantai Bocah dan Warga Somalia

"Sebab, banyak media baru di dunia yang mencoba mendorong pemirsanya untuk berpikir, dari mana berita itu berasal; siapa yang mengeluarkannya; dan apa motif faktual berita tersebut," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI