Suara.com - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak lagi menjamin 8 penyakit katastropik. Di ataranya jantung, ginjal, kanker, stroke, sirosis hepatitis, thalassemia, leukimia dan hemofilia. Alasannya adalah masalah anggaran BPJS yang tidak mencukupi.
Ombudsman Republik Indonesia menyebut wacana ini adalah peringatan yang perlu diwaspadai BPJS.
"Bagi Ombudsman ini adalah warning. BPJS harus melakukan perhitungan yang benar soal pemasukan dan beban pengeluaran," kata Komisioner Ombudsman Dadan Suparjo Suharmawijaya di Kantornya, Jakarta, Rabu (29/11/2017).
Dari catatan Ombudsman, pengeluaran dari 8 penyakit tadi mencapai 20 persen dan sifatnya rutin. Ini yang diakuinya membebankan BPJS.
Baca Juga: Ini Kajian Ombudsman Temukan Upeti dari PKL untuk Satpol PP
Itu pula yang menurutnya bisa semakin memberatkan beban BPJS karena peserta yang baru ikut bisa langsung menikmati program tersebut. Padahal, konsep BPJS adalah gotong royong untuk saling membantu untuk masalah kesehatan.
"90 persen yang masuk (BPJS) itu langsung menjadi beban. Mereka masuk dalam kondisi sakit. Bahkan, setelah sembuh mereka lupa bayar BPJS," katanya.
Seharusnya, BPJS bisa mengelola peserta BPJS dan mempertahankannya sehingga kesadaran gotong royong itu bisa terbentuk.
"Bagaimana mempertahankan keanggotannya agar yang sudah menjadi peserta itu tetap iuran dengan tetap mendorong adanya keanggotaan baru," ujarnya.
Dia menambahkan, BPJS juga mendapat kendala dalam proses mencari peserta. Apalagi, ada pandangan tentang pembedaan pasien yang menggunakan BPJS dan non-BPJS.
Baca Juga: Sandiaga Berterimakasih Ombudsman Telisik Upeti di Tanah Abang
"Pasien BPJS terkesan dinomorduakan dalam pelayanan. Kemudian BPJS ini terkesan sebagai pelayanan kesehatan untuk orang miskin. Padahal tidak, BPJS untuk semua. Ini yang menjadi faktor orang enggan masuk BPJS," kata dia.
Selain itu, fasilitas kesehatan juga masih belum merata. Ini pula yang membuat orang di daerah tidak mendapatkan fasilitas BPJS.
"Fasilitas kesehatan ini hanya tersebar di ibu kota negara, provinsi saja. Harusnya fasilitas ini tersebar di daerah-daerah. Karena mereka (peserta BPJS) itu ada di kota, di kabupaten, membayarnya sama. Tapi ketika ingin memanfaatkan BPJS, tidak semua bisa mengaksesnya," kata dia.
Karenanya, dia menyarankan supaya pemerintah melakukan investasi fasilitas kesehatan yang ditempatkan di rumah sakit di daerah. Bukan dengan membayar rumah sakit setiap peserta BPJS menggunakan fasilitas kesehatan.
"Menurut saya, mungkin pemerintah perlu investasi di sana. Misalnya, cuci darah, kemoterapi, itu pengobatan berulang. Harusnya pemerintah investasi saja supaya itu tidak ditanggung BPJS. Misalnya pemerintah membeli alat kemoterapi atau cuci darah, kemudian ditempatkan di rumah sakit di daerah. Jadi pemerintah tidak bayar ke RS. Tapi menyediakan alat kesehatan untuk ditempatkan di rumah sakit-rumah sakit," katanya.