Kejerian Israel pada Ketelanjangan Tubuh Perempuan

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 28 November 2017 | 13:37 WIB
Kejerian Israel pada Ketelanjangan Tubuh Perempuan
Adi Shildan (kanan) dan Nir Vidan (kiri) dalam pertunjukan tari kontemporer berjudul "The Restlessness of Winged Creatures", November 2017. [The Guardian]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kementerian Kebudayaan Israel dan kaum artisan di negeri tersebut sudah sejak lama renggang karena berkonflik.

Pemerintah, seperti dilansir The Guardian, Selasa (28/11/2017), mendesak setiap pekerja seni tidak menjadikan "ketelanjangan tubuh perempuan" sebagai subjek estetis.

Sebabnya, bagi mereka, ketelanjangan adalah hal yang tabu. Sebagai imbalan, pemerintah menggelontorkan banyak uang untuk menyubsidi beragam kegiatan seniman.

Baca Juga: Komitmen Pemprov Jabar Tingkatkan Kesejahteraan dan Kualitas Guru

Namun, terlepas dari menerima atau tidak uang subsidi, tak sedikit pekerja seni yang menolak desakan kementerian untuk tidak mengeksplorasi ketelanjangan tersebut.

Termutakhir, konflik tersebut menjadi terbuka setelah kaum artisan membuka ajang festival tarian kontemporer terpenting di Israel, "Jerusalem International Dance Week".

Festival "Jerusalem International Dance Week" pada pekan ini adalah kali ketiga yang digelar sepanjang tahun 2017. Dalam festival itu, turut ditampilkan sejumlah pertujukan tarian yang mengeksplorasi ketelanjangan pelaku.

Alhasil, Menteri Kebudayaan Israel, Miri Regev, meradang. Ia menegaskan, uang subsidi pemerintah dalam festival itu tak boleh dipakai untuk tiga dari total 28 pertunjukan yang mementaskan penari tak berbusana.

Jurnalis The Guardian yang meliput festival tersebut, Peter Beaumont, menuliskan bahwa perseteruan tersebut merupakan "front terakhir" perang budaya Israel antara pemerintah dan pekerja seni.

Baca Juga: Sandiaga Sebut Anggaran Pro Rakyat Tak Bisa Direvisi

"Menteri Regev, dan menteri sayap kanan lainnya, sudah sejak lama menilai seni dan para pelakunya sebagai 'kaum kiri dan elitis'. Regev sejak lama mengetatkan produksi film hingga mengekang kurikulum sastra di sekolah-sekolah, sampai menentukan siapa artis yang layak mendapat penghargaan," tulis Peter.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI