"Saya rasa yang terpenting bagi saya hari ini adalah hadirnya saya di KPK dalam rangka dua hal. Memenuhi panggilan KPK dan kedua adalah meringankan beban beliau, beban psikologis beliau. Saya pikir semua sudah tahu, biarkan proses hukum berjalan."
Itu kata-kata yang keluar dari mulut Maman Abdurrahman. Maman seorang kader Golkar yang menduduki posisi penting dalam organisasi. Dia baru saja selesai menjalani pemeriksaan yang dilakukan penyidik KPK di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (27/11/2017).
Wakil sekretaris jenderal Partai Golkar dihadirkan kuasa hukum Novanto sebagai saksi meringankan. Selain Maman, lawyer Novanto tadi juga mendatangkan Aziz Syamsuddin. Aziz seorang tokoh penting di Golkar yang membidangi hukum, HAM, dan keamanan (Komisi III).
Maman lebih dulu keluar dari gedung lembaga antirasuah. Dia bilang sudah memberikan informasi yang dibutuhkan penyidik KPK yang tengah membongkar kasus korupsi proyek e-KTP, perkara yang menjerat Novanto.
Kepada wartawan, Maman tak banyak bicara soal materi pemeriksaan. Dia merasa tak etis blak-blakan soal itu di luar ruang penyidik.
"Yang saya ketahui ya, berdasarkan komunikasi saya dengan Pak Setya Novanto beliau menegaskan setegas tegasnya bahwa beliau tidak terlibat. Hanya itu saja yang saya sampaikan, kurang lebih seperti itu. Detailnya ya tanya ke penyidik," ujar Maman.
Setelah Maman, barulah Aziz keluar dari ruang penyidik. Sama juga dengan Maman. Dia enggan memberi keterangan ke media soal apa saja yang disampaikan ke penyidik.
"Saya sudah sampaikan ke penyidik biar nanti penyidk menyampaikan ya. Saya diminta, diundang berdasarkan penyidik," kata Aziz.
Ini termasuk warna baru dalam penyidikan perkara korupsi proyek e-KTP, meskipun bukan kali pertama. KPK memberikan kesempatan kepada Novanto untuk mengajukan saksi dan saksi ahli meringankan perkara.
Selain Aziz dan Maman, pakar hukum tatanegara Margarito Kamis juga dihadirkan.
Margarito bilang ditanya tiga hal oleh penyidik.
"Tiga pertanyaan doang. Seputar prosedur pemeriksaan terhadap anggota DPR. Itu yang saya jelaskan. Harusnya ada izin dari Presiden."
Margarito menilai selama ini penyidik KPK tidak membaca secara utuh bunyi Pasal 245 UU MD3 yang mengecualikan perlunya izin tertulis Presiden.
"Orang kan nggak baca 'disangka melakukan tindak pidana khusus'. Memangnya ada pengertian lain 'disangka' itu di luar tersangka? Kan orang cuma baca tindak pidana khusus doang. Kata tersangkanya tidak dibaca," ujar Margarito.
Sebelum, menetapkan anggota DPR menjadi tersangka, kata dia, seharusnya dilakukan pemeriksan terlebih dulu sebagai calon tersangka. Tapi, sebelum itu, KPK harus mendapat izin tertulis dari Presiden. Tapi, itu tidak dipenuhi KPK, kata dia.
"Untuk memeriksa tersangka menurut keputusan MK nomor 21 tahun 2014 mesti diperiksa dulu sebagai calon tersangka. Untuk diperiksa sebagai calon tersangka mesti ada izin dulu dari Presiden," tutur Margarito.
Lebih jauh, Margarito juga menilai penyidik KPK belum mendapatkan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan Novanto menjadi tersangka.
Menurut dia hal ini celah bagi Novanto untuk kembali memenangkan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Menurut saya tidak cukup. Karena dia tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka. Sementara putusan MK mengharuskan pemeriksaan sebagai calon tersangka. Ini Celah. Ada kemungkinan SN lolos melalui praperadilan," kata Margarito.
Mantan Ketua KPK yang jadi korban kriminalisasi, Abraham Samad, meyakini KPK punya bukti cukup dalam menjerat Novanto, apalagi KPK punya pengalaman kalah dipraperadilan Novanto yang pertama.
"Kalau kita bicara dalam konteks praperadilan, saya sangat yakin sejak kasus pertama, praperadilan dikalahkannya KPK, saya sangat yakin sebenarnya KPK itu punya begitu banyak alat bukti yang kuat untuk menjerat Setya Novanto," kata Samad di KPK.
Tapi, Samad melihat adanya agenda di luar hukum yang membuat Novanto ketika itu dapat memenangkan praperadilan.
Abraham yakin KPK telah banyak belajar dari sidang praperadilan yang pertama.
"Oleh karena itu untuk praperadilan kedua ini saya sangat yakin KPK akan memenangkannya," ujar Abraham.
Abraham juga menyarankan kepada masyarakat dan media untuk terus mengawasi jalannya praperadilan yang kedua.
"Karena kalau kita tidak mengawasi secara ketat, saya yakin nanti kejadian praperadilan pertama itu akan terjadi dan kalau KPK kalah kali ini maka saya juga berkeyakinan bahwa persidangan itu tidak berlangsung fair dan adil," kata Abraham.
Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan akan menyiapkan secara matang untuk menghadapi praperadilan yang diajukan Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Mudah-mudahan kami persiapkan di praperadilan jauh lebih matang dari yang sebelumnya," kata Agus di gedung KPK, pekan lalu.
Selain praperadilan, ia menyatakan KPK mempersiapkan secara matang untuk melimpahkan berkas perkara Novanto ke penuntutan.
"Kemudian kemungkinan pelimpahan juga kami siapkan. Kami nanti melihat mana yang memungkinkan bagi KPK," kata Agus.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan menggelar sidang perdana praperadilan Novanto pada Kamis (30/11/2017).
Hakim Tunggal Kusno akan memimpin sidang praperadilan.
Novanto ditetapkan kembali menjadi tersangka kasus korupsi e-KTP pada Jumat (10/11/2017).
Novanto bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjono, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen Dirjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sehingga diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara atas perekonomian negara sekurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam pengadaan paket penerapan e-KTP periode 2011-2012.
Novanto disangkakan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP atas nama tersangka.
Sebelumnya, Novanro juga pernah ditetapkan KPK menjadi tersangka kasus proyek e-KTP pada 17 Juli 2017. Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui hHakim tunggal Cepi Iskandar pada 29 September 2017 mengabulkan gugatan praperadilan Novanto sehingga menyatakan bahwa penetapannya sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.