Tujuan gerakan pemerintah itu cukup ambisius, yaitu untuk mengubah cara berpikir masyarakat dan menunjukkan bahwa perkawinan anak lebih banyak mudarat dibandingkan manfaatnya.
“Kami melakukan pendekatan dari inti permasalahan, yaitu dengan menghentikan praktik perkawinan anak. Setelah itu, kami bisa membenahi masalah angka kematian ibu dan bayi yang tinggi, meningkatkan kualitas pendidikan dan indeks pembangunan manusia Indonesia,” jelas Lenny Rosalin, Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak.
Sementara Menurut lembaga pendukung kesejahteraan anak UNICEF, memberantas masalah pernikahan usia anak menjadi salah satu PR negara Indonesia untuk mencapai tujuan Sustainable Development Goals (SDG) pada 2030.
Pendidikan, menurut UNICEF, adalah strategi yang selama ini sukses menurunkan angka perkawinan usia anak secara global.
Baca Juga: Korban Selamat Teror Masjid Mesir Kehilangan 9 Orang Keluarga
“Kita harus mendukung anak-anak perempuan agar menimba ilmu hingga jenjang tinggi, agar memiliki wawasan dan keterampilan memadai untuk mengambil keputusan sendiri. Dengan itu, mereka juga memiliki kesempatan bekerja dan keluar dari kemiskinan,” kata Emilie Minnick, Spesialis Perlindungan Anak di UNICEF Indonesia.
Indonesia dalam tiga dekade terakhir mencatat penurunan besar—lebih dari dua kali lipat—dalam prevalensi perkawinan usia anak.
Namun, laporan UNICEF/BPS menemukan tren itu cenderung stagnan dan hanya turun tujuh persen dalam tujuh tahun terakhir.
Saat ini, angka perkawinan usia anak di Indonesia merupakana salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Baca Juga: 200 Ribu Orang Jadi Korban Teroris dalam 5 Tahun Terakhir