Suara.com - Hoaks alias kabar bohong, menjadi penantang terkuat saat dunia—termasuk Indonesia—dilanda perkembangan era digital sekaligus menandai pembaruan industri media massa.
Perkembangan itu menimbulkan plus minus dalam dunia pemberitaan. Datangnya era digital, memberikan keuntungan karena memungkinkan perusahaan-perusahaan media menghemat biaya produksi karena menyebar informasi secara daring (dalam jaringan; online).
Dengan begitu, masyarakat juga kian mudah mendapatkan informasi. Namun, di lain sisi, kemudahan dan murahnya biaya operasional media online justru menjadi lahan penyemaian informasi hoaks, demi mendapat keuntungan besar.
Baca Juga: Xiaomi Siapkan Mi 7 Tanpa Bingkai dan Berotak Snapdragon
Hal tersebut diungkapkan Ketua Dewan Pers, Yosef Stanley Adi Prasetyo, Seminar ”Jurnalisme vs Hoax : Membangun Kesepahaman, Menghormati Keberagaman” dalam rangkaian acara Festival Media di Graha Soloraya di Kota Solo, Jumat (24/11/2017).
Stanley mengatakan, banyak media online yang memalsukan atau memodifikasi nama-nama media daring arus utama dan sudah mendapatkan kepercayaan publik.
“Ada 14 situs yang memalsu Tempo. Seluruh media yang berwibawa dibawa-bawa dan dipelesetkan,” kata Stanley saat menjadi narasumber, seperti dilansir laman Aji.or.id.
Media-media ”peniru” itu membuat berita yang berbeda dari media aslinya. Pada laman media asli, berita-berita yang dimuat telah terkonfirmasi dan sudah melalui proses verifikasi sesuai prinsip jurnalistik sebelum diunggah ke publik.
Namun, oleh media-media ”peniru”, berita media arus utama tersebut dibuat ulang tapi dimasukkan fakta berbeda.
Baca Juga: Hutan dan Lahan DAS Cimanuk Garut Direhabilitasi
Selain itu, Stanley juga mengkritik banyak media-media massa kekinian mengedepankan pandangan politik tertentu.
“Di Indonesia, di mana-mana, media-media terus ditarik-tarik ke politik. Kita bisa melihat ketika Pemilu 2014,” tuturnya.
Prosedur reportase atau peliputan pada era digital juga banyak terdistorsi, kalau dibandingkan dengan peliputan di negara-negara maju.
Menurut dia, kalau di negara maju, reportase itu dilaporkan secara clear atau sesuai prinsip jurnalistik. Berbeda dengan di Indonesia, banyak jurnalis yang sudah senior enggan berpanas-panasan melakukan liputan. Produk jurnalistik di Indonesia sudah kacau dari dulu.
Wartawan Anadolu Agency, Dandy Koswara, mengatakan banyak media online yang mendapat keuntungan miliaran rupiah melalui penyebaran hoaks.
Dia mencontohkan media daring Arrahmah.com yang mendapatkan keuntungan Rp1,4 miliar per bulan. Padahal, salah satu media online arus utama hanya bisa mendapatkan Rp120 juta per bulan.
“Para pembuat hoaks adalah penunggang gelap dari digital discruption (gangguan digital). Mereka menciptakan peluang untuk menguntungkan diri sendiri,” ungkapnya.
Tak hanya itu, Dandy juga berharap jurnalisme maupun praktiknya di Indonesia harus memberikan ruang kepada minoritas dan mempromosikan keberagaman.
Menurutnya, hal itu penting dilakukan karena ada kecenderungan media menyajikan berita yang mengandung hoaks.