“Di Indonesia, di mana-mana, media-media terus ditarik-tarik ke politik. Kita bisa melihat ketika Pemilu 2014,” tuturnya.
Prosedur reportase atau peliputan pada era digital juga banyak terdistorsi, kalau dibandingkan dengan peliputan di negara-negara maju.
Menurut dia, kalau di negara maju, reportase itu dilaporkan secara clear atau sesuai prinsip jurnalistik. Berbeda dengan di Indonesia, banyak jurnalis yang sudah senior enggan berpanas-panasan melakukan liputan. Produk jurnalistik di Indonesia sudah kacau dari dulu.
Wartawan Anadolu Agency, Dandy Koswara, mengatakan banyak media online yang mendapat keuntungan miliaran rupiah melalui penyebaran hoaks.
Baca Juga: Xiaomi Siapkan Mi 7 Tanpa Bingkai dan Berotak Snapdragon
Dia mencontohkan media daring Arrahmah.com yang mendapatkan keuntungan Rp1,4 miliar per bulan. Padahal, salah satu media online arus utama hanya bisa mendapatkan Rp120 juta per bulan.
“Para pembuat hoaks adalah penunggang gelap dari digital discruption (gangguan digital). Mereka menciptakan peluang untuk menguntungkan diri sendiri,” ungkapnya.
Tak hanya itu, Dandy juga berharap jurnalisme maupun praktiknya di Indonesia harus memberikan ruang kepada minoritas dan mempromosikan keberagaman.
Menurutnya, hal itu penting dilakukan karena ada kecenderungan media menyajikan berita yang mengandung hoaks.