Suara.com - Ketua tim pengacara Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI Kapitra Ampera yakin kalau Habib Rizieq pulang ke Jakarta untuk menghadiri reuni akbar alumni 212 di Monuman Nasional, Jakarta Pusat, pada Sabtu (2/12/2017), tidak ditangkap polisi.
"Itu sudah saya komunikasikan dengan semua pihak," kata Kapitra kepada Suara.com, Minggu (26/12/2017).
Siapa pihak-pihak yang diajak berkomunikasi, Kapitra mengatakan para pemegang kekuasaan di negeri ini.
Kepada mereka, Kapitra menjelaskan antara lain mengenai dampak yang bakal timbul kalau terjadi penangkapan terhadap Rizieq.
"Pasti bergolaklah. Pasti terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. akan terjadi instabitias, politik, dan sosial," kata Kapitra.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu, Kapitra yakin para pemegang kekuasaan tidak akan menangkap Rizieq.
"Saya pikir nggak (tidak ditangkap). Saya sudah komunikasi dengan semua," Kapitra menegaskan.
Jika tak ada aral melintang, kemungkinan Rizieq pulang dari Arab Saudi pada 30 November atau 1 Desember.
Apakah akan ada penjemputan besar-besaran di bandara internasional, Kapitra mengatakan masih menunggu kabar dari Ketua Umum Front Pembela Islam Sobri Lubis yang sekarang sedang menemui Rizieq di Arab.
Kabar Rizieq mau pulang sebenarnya sudah sering disampaikan, tetapi ternyata tak sesuai rencana. Terakhir, Kapitra bilang Rizieq akan pulang 22 September dan bakal disambut 20 juta pendukung, tetapi ternyata tidak terjadi.
Sebelumnya, dia juga disebutkan akan pulang pada waktu ulang tahun FPI dipertengahan Agustus, tetapi ternyata tidak jadi.
Dia juga pernah dikabarkan akan pulang setelah Lebaran 2017.
Rizieq berada di Arab Saudi sejak kasus pornografi yang dituduhkan kepadanya dan Firza Husein mencuat. Polisi kemudian menetapkan Rizieq dan Firza menjadi tersangka. Semenjak itu, Rizieq tidak pernah pulang dan menilai kasusnya telah dipolitisasi.
Pengajuan SP3
Polda Metro Jaya menerima permohonan agar menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dari pengacara Rizieq.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menerbitkan SP3 tidak segampang itu.
"Tentunya tidak semudah apa yang dibayangkan, pasti penyidik punya pandangan lain apa kasusnya itu tindak pidana apa bukan," kata Argo di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (23/8/2017).
Penerbitan SP3 tergantung pada keputusan penyidik setelah mereka melakukan gelar perkara.
Penerbitan SP3 diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 109 ayat (2) menyebutkan alasan penghentian penyidikan dapat dilakukan apabila memenuhi syarat sebagai berikut. Pertama, tidak diperoleh bukti yang cukup, yakni jika penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka. Kedua, kejadian yang disangkakan bukan tindak pidana. Ketiga, alasan penghentian penyidikan demi hukum dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa.