Suara.com - Korban tewas dalam serangan milisi yang menghancurkan di sebuah masjid pada Jumat di Sinai Utara, Mesir, meningkat menjadi 305 orang, termasuk 27 anak, dan 128 orang cedera, menurut kantor berita MENA, Sabtu (25/11/2017)
Pada Jumat (24/11/2017), milisi meledakkan bom dan menembaki jamaah dalam serangan paling mematikan dalam sejarah modern negara tersebut, menurut laporan media pemerintah dan para saksi.
Belum ada kelompok yang menyatakan bertanggung jawab, namun sejak 2013 pasukan keamanan Mesir telah berjuang menangani afiliasi ISIS di wilayah yang sebagian besar terdiri dari gurun itu. Sementara itu, milisi-milisi telah membunuh ratusan polisi dan tentara.
Media pemerintah memperlihatkan gambar para korban yang berlumuran darah dan tubuh-tubuh yang ditutup selimut di dalam masjid Al Rawdah di Bir al-Abed, sebelah barat El Arish, kota utama di Sinai Utara.
Seorang saksi mata mengatakan para anggota jamaah sedang menyelesaikan shalat Jumat di masjid ketika sebuah bom meledak. Sekitar 40 lelaki bersenjata berdiri di luar masjid dengan mobil jip dan melepaskan tembakan dari berbagai arah saat orang-orang mencoba melarikan diri.
"Mereka menembaki orang-orang saat mereka meninggalkan masjid," ujar seorang penduduk setempat yang kerabatnya berada di tempat kejadian. "Mereka juga menembaki ambulans," jelasnya.
Menyerang masjid akan menjadi perubahan taktik bagi milisi Sinai, yang biasanya menyerang tentara dan polisi dan gereja-gereja Kristen.
Saluran berita Arabiya dan beberapa sumber lokal mengatakan beberapa anggota jamaah beraliran Sufi, yang oleh kelompok-kelompok seperti ISIS dijadikan target karena mereka menghormati para wali dan tempat-tempat suci, yang bagi milisi Islamis sama saja dengan penyembahan berhala.
Kelompok milisi juga menyerang suku-suku setempat beserta milisi mereka karena bekerja sama dengan tentara dan polisi sehingga kelompok milisi menganggap mereka sebagai penghianat.
Cabang Sinai adalah salah satu cabang ISIS yang masih ada, setelah runtuhnya kekhalifahan yang diumumkan sendiri di Suriah dan Irak pascakekalahan militer oleh pasukan yang didukung AS.
Menurut sumber kantor kepresidenan dan televisi pemerintah, Presiden Abdel Fattah al-Sisi, mantan komandan angkatan bersenjata yang menghadirkan dirinya sebagai benteng pertahanan terhadap militansi Islam, mengadakan pertemuan darurat dengan menteri pertahanan dan menteri dalam negeri serta kepala intelijen segera setelah serangan tersebut.
Keamanan telah lama menjadi salah satu sumber utama dukungan publik bagi mantan jenderal tersebut, yang diperkirakan akan mencalonkan kembali pada pemilihan awal tahun depan untuk masa jabatan empat tahun berikutnya.
Dia berjanji serangan itu tidak akan luput dari hukuman.
"Keadilan akan ditegakkan terhadap semua pihak yang berpartisipasi, memberikan kontribusi, mendukung, mendanai, atau menghasut serangan pengecut ini," demikian Sisi dalam sebuah pernyataan. (Antara/Reuters)