Amnesty Internasional: Myanmar Mendesain Penindasan Rohingya

Reza Gunadha Suara.Com
Rabu, 22 November 2017 | 05:15 WIB
Amnesty Internasional: Myanmar Mendesain Penindasan Rohingya
Seorang demonstran di Iran membawa poster Aung San Suu Kyi dalam demonstrasi memprotes kekerasan terhadap warga minoritas Rohingya di Myanmar di depan kantor perwakilan PBB di Teheran pada 10 September lalu. [AFP/Atta Kenare]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sistem keji yang memberi perlakuan berbeda terhadap warga Rohingya oleh pemerintah Myanmar dan dijalankan oleh Konselor Aung San Suu Kyi, disebut sengaja didesain untuk membuat Rohingya semakin hidup dalam keputusasaan.

Organisasi HAM Amnesty International yang menggelar investigasi sepanjang dua tahun menyimpulkan, pihak berwenang Myanmar semena-mena membatasi semua aspek kehidupan Rohingya di negara bagian Rakhine.

“Sistem ini terlihat didesain agar masyarakat Rohingya sebisa mungkin hidup dalam keputusasaan dan siksaan," ungkap Direktur Senior bidang Penelitian Amnesty International Anna Neistat dalam pernyataan resminya yang diterima Anadolu Agency, Selasa (21/11/2017).

Baca Juga: AS Kembali Masukkan Korut ke Daftar Negara Pendukung Teroris

"Tindakan pembersihan etnis brutal yang dilakukan pihak keamanan dalam tiga bulan terakhir adalah perwujudan paling ekstrem dari sikap buruk mereka,” lanjut Neistat.

Neistat menjelaskan, aspek kehidupan yang dihambat oleh pemerintah Myanmar adalah akses kesehatan, pendidikan, hingga akses untuk meninggalkan desa. Amnesty International menyebutnya sebagai sistem Apartheid.

Diskriminasi yang sudah berlangsung beberapa dekade itu memburuk sejak 2012, saat kekerasan antara komunitas Buddha dan Muslim meledak.

Pembatasan hak warga Rohingya itu, menurut Amnesty International, diterapkan melalui serangkaian undang-undang yang berbelit-belit, serta peraturan daerah dan kebijakan aparat yang menunjukkan sikap rasisme secara terang-terangan.

Mereka menjelaskan, di Rakhine State bagian tengah, warga Rohingya diasingkan dengan ditempatkan di desa dan kamp pengungsian. Sedang di wilayah lain, mereka dilarang untuk menggunakan jalan raya dan hanya bisa bepergian dengan menggunakan jalur sungai.

Baca Juga: Politisi Demokrat Dipolisikan Istri Terkait Dugaan KDRT

Tidak sampai di situ, Rohingya pun hanya diizinkan untuk mengunjungi desa-desa muslim lainnya, selebihnya terlarang.

Pada saat menggelar investigasi ini, salah satu staf Amnesty International mengaku melihat langsung penjaga perbatasan menendang warga Rohingya di pos pemeriksaan. Staf tersebut juga mencatat satu pembunuhan di luar hukum. Kala itu polisi perbatasan menembak mati pemuda Rohingya berusia 23 tahun yang bepergian di luar jam malam.

Amnesty International mengatakan, “Pembatasan gerak juga berdampak serius pada kehidupan sehari-hari ratusan ribu warga Rohingya. Mereka harus berjuang mati-matian untuk bertahan hidup.”

Warga Rohingya tidak diberikan akses ke Rumah Sakit Sittwe, yang mempunyai fasilitas medis terbaik di Rakhine State. Mereka harus mendapat izin dari otoritas negara bagian dan hanya bisa menyambangi rumah sakit dengan kawalan polisi.

Akhirnya, warga di wilayah utara Rakhine State tidak punya pilihan untuk berobat selain pergi ke Bangladesh demi mendapat akses kesehatan. Tentu, kata Amnesty International, perjalanan itu membutuhkan biaya yang sangat besar.

Di luar wilayah utara Rakhine State sebenrnya ada beberapa fasilitas kesehatan. Namun lagi-lagi, diskriminasi pun diterapkan di rumah sakit. Tim investigasi mendapatkan cerita bahwa warga Rohingya harus menyogok staf rumah sakit dan polisi penjaga jika ingin menghubungi keluarga atau sekadar membeli makanan di luar rumah sakit.

“Penolakan akses perawatan kesehatan pada warga Rohingya adalah hal yang mengerikan," kata Neistat. "Para wanita memilih melahirkan di rumah dalam lingkungan yang tidak higienis ketimbang menghadapi penindasan dan pemerasan di rumah sakit.”

Kesulitan hidup selama ini tidak hanya dialami kaum dewasa Rohingya. Sejak 2016, pemerintah Myanmar juga sangat mempersulit warga Rohingya yang ingin mendaftarkan bayi mereka ke dalam kartu anggota keluarga, yang sering menjadi satu-satunya bukti kependudukan bayi tersebut.

Sementara itu, di wilayah utara Rakhine State, warga Rohingya yang kebetulan tidak sedang berada di rumah saat sensus penduduk menghadapi resiko dihapus dari catatan resmi.

“Memulihkan hak dan juga status legal warga Rohingya serta amandemen undang-undang kewarganegaraan yang diskrimininatif sangat diperlukan saat ini,” tegas Neistat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI