Suara.com - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, letusan Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, Selasa (21/11/2017), bertipe "freatik" atau terjadi karena adanya uap air bertekanan tinggi.
"Uap air tersebut terbentuk seiring dengan pemanasan air bawah tanah atau air hujan yang meresap ke dalam tanah di dalam kawah kemudian kontak langsung dengan magma," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.
Menurut dia, letusan freatik disertai asap, abu dan material yang ada di dalam kawah. Letusan freatik sulit diprediksi, karena bisa terjadi tiba-tiba dan seringkali tidak ada tanda-tanda adanya peningkatan kegempaan.
Baca Juga: Tak Punya Uang, Ibu Bunuh 4 Bayinya dan Disimpan di Kotak
Beberapa kali gunung api di Indonesia meletus freatik saat status gunung tersebut waspada atau level II seperti letusan Gunung Dempo, Gunung Dieng, Gunung Marapi, Gunung Gamalama, Gunung Merapi dan lainnya.
Tinggi letusan freatik juga bervariasi, bahkan bisa mencapai 3.000 meter tergantung dari kekuatan uap airnya.
"Jadi letusan freatik gunung api bukan sesuatu yang aneh, kalau status gunung api tersebut di atas normal. Biasanya dampak letusan adalah hujan abu, pasir atau kerikil di sekitar gunung," imbuhnya.
Letusan freatik, kata dia, bisa juga menjadi peristiwa yang mengawali episode letusan sebuah gunung api seperti Gunung Sinabung di Sumatera Utara, yang timbul letusan freatik dari tahun 2010 hingga awal 2013, menjadi pendahulu dari letusan magmatik.
Sutopo menambahkan, letusan magmatik adalah letusan yang lebih berbahaya yang disebabkan oleh magma dalam gunung api.
Baca Juga: Setya Novanto 'Menghiasi' Berita Utama 5 Media Malaysia
"Letusan magmatik ada tanda-tandanya, terukur dan bisa dipelajari ketika akan meletus," tandasnya.