Suara.com - Tampang bocah laki-laki itu memelas saat menawarkan tisu ukuran travel pack kepada tamu sebuah kedai kopi di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat.
“Kak, tisunya dua sepuluh ribu saja, Kak,” kata Alif, berharap dua orang di hadapannya trenyuh dan membeli barang yang dijualnya.
Tak berhasil menggugah iba si tamu, dia menggunakan ‘senjata’ lain agar hati dua pria yang sedang menikmati kopi dan roti bakar di hadapannya itu luluh.
“Kak, buat bayar sekolah, Kak,” ujar Alif.
Baca Juga: Demi Bajak Pemain Incaran Barcelona, Madrid Rela 'Buang' Bale
Sekejap, dua pak tisu itu berpindah tangan. Alif melenggang meninggalkan kedai kopi sambil menyelipkan selembar uang Rp10 ribu ke saku celananya.
Alif hanya satu dari sekitar belasan anak yang tiap malam wira-wiri di kawasan wisata kuliner yang dikenal dengan sebutan Jalan Sabang itu.
Menjinjing kantong plastik berisi tisu-tisu ukuran travel pack, menawarkan ke tamu rumah makan-kedai kopi-hingga warung tenda, menjual raut pilu, sudah menjadi rutinitas Alif dengan teman-temannya tiap malam.
Setiap harinya, Alif mengakui membawa 18 pak tisu. Selepas Magrib, bersama empat temannya, dia berangkat dari rumahnya di kawasan Kramat Pulo menuju Monas.
Baca Juga: Kisah 'Comeback' Penyerang Gaek Ibrahimovic
Di sana, kata Alif, dia berkumpul dengan teman-temannya yang lain, sebelum berjalan kaki menuju sebuah rumah yang disebutnya sebagai pabrik tisu di permukiman dekat Jalan Sabang.
Mengasong tisu, sebut Alif, sudah dilakukannya selama beberapa tahun. Dia berdagang setiap hari sampai jam 05.00 pagi.
Dengan jam ‘beredar’ terbilang hampir 12 jam itu, Alif mengatakan tetap bisa bersekolah. Dia mengakui masih terdaftar sebagai murid kelas 4 di Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah, Jakarta Pusat.
“Enggak, enggak ngantuk pas sekolah, sudah biasa. Tidurnya ya siang, habis sekolah nanti,” sebut Alif.
Saat bicara dengan Anadolu Agency, Alif, yang menyebut tinggal dengan Kakeknya bersama sembilan teman dan juga saudaranya itu berkisah sudah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.
Ayahnya, pengamen yang mengenalkan Alif kali pertama dengan lingkungan Jalan Sabang, sudah mati karena sakit ketika dia berusia enam tahun. Dua tahun kemudian Ibunya menyusul sang Ayah.
Cerita kenestapaan hidup Alif persis seperti di drama-drama televisi. Memedihkan hati siapa pun yang menyimaknya, meski tak diketahui perkara benar-tidaknya.
Jika Alif menjajakan kisah pilu berbungkus tisu, maka berbeda cerita dengan Bunga dan Desy. Dua bocah perempuan berusia 9 dan 5 tahun itu berjualan tisu dengan riang, sementara Ibu mereka menguntit dari belakang sepanjang jalan.
“Kalau aku bawa 10 tisu, Desy bawa tiga. Mama bawa tisu sisanya,” kata Bunga sambil menunjuk Ibunya yang berdiri di balik mobil yang terparkir di depan kedai kopi.
Ketika Anadolu Agency bertemu mereka sekitar pukul 19.00 WIB malam itu, Bunga dan Desy terlihat memulai berjualan dengan wajah yang masih segar, seperti baru mandi.
Pakaian yang mereka kenakan jauh dari kata lusuh. Persis seperti Alif, yang mengenakan kemeja dan celana panjang yang terlihat bersih.
Bunga dan Desy juga terlihat berlari-larian penuh canda di kawasan malam itu meski tisu yang ditawarkannya tidak berhasil ditukar dengan lembaran rupiah. Tidak seperti Alif yang memasang raut murung jika dagangannya ditolak mentah-mentah.
Sesekali dua anak perempuan ini mendekati Ibu mereka yang membuntuti lima meter di belakang mereka. Wanita itu memantau lekat-lekat Bunga dan Desy.
Makin kecil makin kasihan
Keberadaan Alif, Bunga atau Desy di area wisata kuliner seperti Jalan Sabang sebenarnya sudah lama terlihat.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kerap melakukan operasi untuk menertibkan ruang publik seperti Jalan Sabang sesuai peraturan daerah.
Dugaan eksploitasi anak langsung yang dilakukan oleh orang tua berdalih masalah ekonomi—seperti orang tua Bunga dan Desy—pun sebenarnya sudah jadi cerita klasik Ibu Kota.
Salah satu yang menjadi catatan kasus eksploitas anak besar-besaran di Jakarta adalah ketika banyak ibu-ibu yang memilih cara cepat mendapat uang dengan menjadi joki “3 in 1” di jalan-jalan protokol tiap sore hingga malam.
Banyak temuan yang menyebut bahwa anak-anak dalam gendongan ibu joki tersebut diberi obat tidur agar tak mengganggu saat berada di dalam mobil yang membutuhkan jasa joki.
Tahun lalu, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama mengambil langkah tegas untuk memberantas eksploitasi anak di depan mata itu. Pada 16 Mei 2016, aturan “3 in 1” resmi dihapuskan.
Kepala Satpol PP Yani Wahyu menyebut masalah pedagang asongan anak masuk dalam kelompok Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang sudah sering ditertibkan oleh timnya.
Mengenai banyaknya anak-anak di bawah umur 10 tahun yang menjajakan tisu di kawasan wisata kuliner, Yani punya dugaan sendiri.
“Ya, kan dipikirnya makin kecil (usianya) makin tinggi daya jual (dagangan)nya, karena orang bakal kasihan,” kata dia.
Berbagai Dalih Pembiaran Anak Bekerja
Permasalahan anak-anak penjual asongan seperti yang dilakukan oleh Alif, Bunga dan Desy diakui lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai bentuk eksploitasi anak dari segi ekonomi.
Komisioner KPAI Bidang Sosial dan Anak dalam Keadaan Darurat Susianah Affandi menyebut anak-anak penjual tisu adalah bagian dari konversi wujud eksploitasi anak oleh orang tua.
“Yang paling mencolok memang anak-anak yang berjualan koran atau tisu itu,” tudingnya.
Berkaca dari pemantauan ataupun laporan yang diterima KPAI, Susianah mengatakan, ada kecenderungan orang tua anak-anak pengasong itu membenarkan anak-anaknya untuk bekerja dengan dalih membantu ekonomi keluarga.
“Bahwa di lingkungan sosial kita, anak itu sejak umur tujuh tahun sudah diajarkan untuk mencuci piring, mengangkat-angkat barang di rumah. Jadi kemudian ‘anak bekerja’ oleh masyarakat dianggap sebagai pendidikan karakter, pendidikan kemandirian, untuk membantu orang tua,” beber Susi.
Selain itu, kata Susi, alasan lain yang kerap digunakan orang tua untuk membiarkan atau menuntut anak bekerja adalah faktor sosial budaya yang sudah mengakar di masyarakat Indonesia.
Dia menyebut, di beberapa daerah di kawasan timur pulau Jawa yang dikenal wilayah tapal kuda, KPAI banyak menemukan usia anak yang sudah dipekerjakan oleh orang tua mereka. Kondisi itu, sebut Susi, sudah menjadi budaya warga setempat.
Untuk bisa menerapkan aturan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak pada akhirnya bakal berbenturan dengan budaya di wilayah tersebut.
Sedangkan untuk di kota-kota besar seperti Jakarta, Susi menilai, pemerintah kerap tersandung hal lain saat ingin merealisasikan target Indonesia Bebas Anak Jalanan.
“Ketika kami melakukan advokasi, hantamannya kepada kami adalah kriminalisasi. Jadi, ‘kemiskinan’ akan selalu dijadikan judul untuk banyak hal,” kata dia.
Pun dengan kesalahpahaman yang menyebut anak-anak terlantar di jalanan kota besar terjadi karena semata-mata alasan faktor ekonomi. “Itu salah besar,” tegas Susi.
Susi menilai, perkara kurangnya kasih sayang orang tua, tidak terpenuhi hak-hak tumbuh berkembang anak seperti beristirahat dan bermain, menjadi sederet alasan yang memicu anak-anak terlantar dan kemudian hidup di jalanan.
“Dalam banyak kasus, anak-anak terlantar ini muncul karena disfungsi keluarga. Di situ artinya, ketahanan keluarga menjadi kunci utama penanganan masalah anak,” kata dia.
Turun Drastis Meski Masih Ada Sindikat
Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial (Kemensos) Nahar mengakui meski anak jalanan masih terlihat di beberapa kawasan namun kecenderungan jumlah mereka telah jauh menurun dibanding tahun lalu.
Pada 2016, Kemensos mencatat hampir 8.000 anak jalanan berkeliaran di Ibu Kota. Kini, jumlah tersebut merosot jauh hingga mencapai sekitar 1700 anak.
“Itu pun sebenarnya sudah enggak di jalanan lagi. Praktiknya itu yang sekarang menjadi pedagang tisu,” kata dia.
Tak hanya di Jakarta, jumlah anak jalanan dalam lingkup nasional juga mengalami penurunan yang sangat jauh.
Dibanding satu dekade lalu, jumlah anak jalanan yang mencapai angka 232.894 orang di 21 provinsi, kini sudah jauh menurun menjadi 16.290 orang.
Penurunan jumlah itu, kata Nahar, tidak serta-merta berhasil karena kerja keras kementeriannya, namun lembaga-lembaga yang bergerak di bidang sosial juga ikut andil dalam mencapai tujuan Indonesia Bebas Anak Jalanan.
“Kalau ditemukan kasus anak jalanan, Kemensos menyentuh lembaga-lembaga yang bergerak di bidang itu. Mereka bekerja sebagai mitra, menjangkau, mendampingi, dan melaksanakan program,” ujar Nahar.
Di tempat yang sama, menurunnya jumlah anak jalanan saat ini juga sebagai dampak positif dari program pemerintah. Seperti program BOS atau Bantuan Operasional Sekolah yang dimulai sejak 12 tahun silam.
Meski kemerosotan jumlah anak jalanan sudah dirasakan, Nahar menilai, target Indonesia Bebas Anak Jalanan sebenarnya menjadi gerakan sosial yang harus dilakukan oleh siapapun, termasuk masyarakat.
Dia mengaku, pemberantasan anak jalanan menjadi sesuatu yang dilematik untuk dilakukan secara masif oleh pemerintah dan juga masyarakat.
Meski Undang-undang No.35 tahun 2014 sudah jelas menyebut hak anak dan juga ancaman hukuman bagi mereka yang melanggarnya, tetapi alasan kemanusiaan membuat keberadaan anak jalanan ini hanya berpindah tempat.
“Kita berhadapan dengan hubungan antar orang dan penciptanya. Mereka berada di jalan dianggap sebagai lahan untuk beramal. Itu sebenarnya kendala. Makanya kami juga sudah memasang spanduk imbauan untuk tidak memberi lagi,” sebut Nahar.
Kini, kata dia, kawasan yang paling banyak anak jalanan adalah di pinggiran Ibu Kota seperti Depok dan Bogor, karena sistem di Jakarta sudah berjalan.
DKI Jakarta sendiri memiliki mekanisme untuk menempatkan petugas pengendali ketertiban. Dia menyebut, ada 200 titik penempatan petugas untuk mengawasi anak jalanan.
Kalaupun saat ini masih terlihat beberapa anak jalanan beredar menjajakan tisu atau yang lainnya, Nahar menduga ada sindikat yang mempekerjakan mereka.
Dia menilai, tidak sedikit orang tua yang masih merasa tertantang untuk ‘mengeksploitasi’ anaknya karena menjadi cara cepat untuk menghasilkan uang yang banyak.
“Dipastikan ada sindikat. Tetapi masalah ini relatif belum terbiasa untuk dibongkar oleh aparat,” ujar Nahar.