Kisah Klasik Jakarta, Kepiluan Pengasong Anak Berbalut Tisu

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 21 November 2017 | 06:00 WIB
Kisah Klasik Jakarta, Kepiluan Pengasong Anak Berbalut Tisu
Seorang anak perempuan menawarkan tisu di salah satu kedai makanan di sebuah kawasan wisata kuliner di Jakarta Pusat. (Megiza Asmail - Anadolu Agency)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Turun Drastis Meski Masih Ada Sindikat

Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial (Kemensos) Nahar mengakui meski anak jalanan masih terlihat di beberapa kawasan namun kecenderungan jumlah mereka telah jauh menurun dibanding tahun lalu.

Pada 2016, Kemensos mencatat hampir 8.000 anak jalanan berkeliaran di Ibu Kota. Kini, jumlah tersebut merosot jauh hingga mencapai sekitar 1700 anak.

“Itu pun sebenarnya sudah enggak di jalanan lagi. Praktiknya itu yang sekarang menjadi pedagang tisu,” kata dia.

Baca Juga: Demi Bajak Pemain Incaran Barcelona, Madrid Rela 'Buang' Bale

Tak hanya di Jakarta, jumlah anak jalanan dalam lingkup nasional juga mengalami penurunan yang sangat jauh.

Dibanding satu dekade lalu, jumlah anak jalanan yang mencapai angka 232.894 orang di 21 provinsi, kini sudah jauh menurun menjadi 16.290 orang.

Penurunan jumlah itu, kata Nahar, tidak serta-merta berhasil karena kerja keras kementeriannya, namun lembaga-lembaga yang bergerak di bidang sosial juga ikut andil dalam mencapai tujuan Indonesia Bebas Anak Jalanan.

“Kalau ditemukan kasus anak jalanan, Kemensos menyentuh lembaga-lembaga yang bergerak di bidang itu. Mereka bekerja sebagai mitra, menjangkau, mendampingi, dan melaksanakan program,” ujar Nahar.

Di tempat yang sama, menurunnya jumlah anak jalanan saat ini juga sebagai dampak positif dari program pemerintah. Seperti program BOS atau Bantuan Operasional Sekolah yang dimulai sejak 12 tahun silam.

Baca Juga: Kisah 'Comeback' Penyerang Gaek Ibrahimovic

Meski kemerosotan jumlah anak jalanan sudah dirasakan, Nahar menilai, target Indonesia Bebas Anak Jalanan sebenarnya menjadi gerakan sosial yang harus dilakukan oleh siapapun, termasuk masyarakat.

Dia mengaku, pemberantasan anak jalanan menjadi sesuatu yang dilematik untuk dilakukan secara masif oleh pemerintah dan juga masyarakat.

Meski Undang-undang No.35 tahun 2014 sudah jelas menyebut hak anak dan juga ancaman hukuman bagi mereka yang melanggarnya, tetapi alasan kemanusiaan membuat keberadaan anak jalanan ini hanya berpindah tempat.

“Kita berhadapan dengan hubungan antar orang dan penciptanya. Mereka berada di jalan dianggap sebagai lahan untuk beramal. Itu sebenarnya kendala. Makanya kami juga sudah memasang spanduk imbauan untuk tidak memberi lagi,” sebut Nahar.

Kini, kata dia, kawasan yang paling banyak anak jalanan adalah di pinggiran Ibu Kota seperti Depok dan Bogor, karena sistem di Jakarta sudah berjalan.

DKI Jakarta sendiri memiliki mekanisme untuk menempatkan petugas pengendali ketertiban. Dia menyebut, ada 200 titik penempatan petugas untuk mengawasi anak jalanan.

Kalaupun saat ini masih terlihat beberapa anak jalanan beredar menjajakan tisu atau yang lainnya, Nahar menduga ada sindikat yang mempekerjakan mereka.

Dia menilai, tidak sedikit orang tua yang masih merasa tertantang untuk ‘mengeksploitasi’ anaknya karena menjadi cara cepat untuk menghasilkan uang yang banyak.

“Dipastikan ada sindikat. Tetapi masalah ini relatif belum terbiasa untuk dibongkar oleh aparat,” ujar Nahar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI