Kisah Klasik Jakarta, Kepiluan Pengasong Anak Berbalut Tisu

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 21 November 2017 | 06:00 WIB
Kisah Klasik Jakarta, Kepiluan Pengasong Anak Berbalut Tisu
Seorang anak perempuan menawarkan tisu di salah satu kedai makanan di sebuah kawasan wisata kuliner di Jakarta Pusat. (Megiza Asmail - Anadolu Agency)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Makin kecil makin kasihan

Keberadaan Alif, Bunga atau Desy di area wisata kuliner seperti Jalan Sabang sebenarnya sudah lama terlihat.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kerap melakukan operasi untuk menertibkan ruang publik seperti Jalan Sabang sesuai peraturan daerah.

Dugaan eksploitasi anak langsung yang dilakukan oleh orang tua berdalih masalah ekonomi—seperti orang tua Bunga dan Desy—pun sebenarnya sudah jadi cerita klasik Ibu Kota.

Baca Juga: Demi Bajak Pemain Incaran Barcelona, Madrid Rela 'Buang' Bale

Salah satu yang menjadi catatan kasus eksploitas anak besar-besaran di Jakarta adalah ketika banyak ibu-ibu yang memilih cara cepat mendapat uang dengan menjadi joki “3 in 1” di jalan-jalan protokol tiap sore hingga malam.

Banyak temuan yang menyebut bahwa anak-anak dalam gendongan ibu joki tersebut diberi obat tidur agar tak mengganggu saat berada di dalam mobil yang membutuhkan jasa joki.

Tahun lalu, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama mengambil langkah tegas untuk memberantas eksploitasi anak di depan mata itu. Pada 16 Mei 2016, aturan “3 in 1” resmi dihapuskan.

Kepala Satpol PP Yani Wahyu menyebut masalah pedagang asongan anak masuk dalam kelompok Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang sudah sering ditertibkan oleh timnya.

Mengenai banyaknya anak-anak di bawah umur 10 tahun yang menjajakan tisu di kawasan wisata kuliner, Yani punya dugaan sendiri.

Baca Juga: Kisah 'Comeback' Penyerang Gaek Ibrahimovic

“Ya, kan dipikirnya makin kecil (usianya) makin tinggi daya jual (dagangan)nya, karena orang bakal kasihan,” kata dia.

Berbagai Dalih Pembiaran Anak Bekerja

Permasalahan anak-anak penjual asongan seperti yang dilakukan oleh Alif, Bunga dan Desy diakui lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai bentuk eksploitasi anak dari segi ekonomi.

Komisioner KPAI Bidang Sosial dan Anak dalam Keadaan Darurat Susianah Affandi menyebut anak-anak penjual tisu adalah bagian dari konversi wujud eksploitasi anak oleh orang tua.

“Yang paling mencolok memang anak-anak yang berjualan koran atau tisu itu,” tudingnya.

Berkaca dari pemantauan ataupun laporan yang diterima KPAI, Susianah mengatakan, ada kecenderungan orang tua anak-anak pengasong itu membenarkan anak-anaknya untuk bekerja dengan dalih membantu ekonomi keluarga.

“Bahwa di lingkungan sosial kita, anak itu sejak umur tujuh tahun sudah diajarkan untuk mencuci piring, mengangkat-angkat barang di rumah. Jadi kemudian ‘anak bekerja’ oleh masyarakat dianggap sebagai pendidikan karakter, pendidikan kemandirian, untuk membantu orang tua,” beber Susi.

Selain itu, kata Susi, alasan lain yang kerap digunakan orang tua untuk membiarkan atau menuntut anak bekerja adalah faktor sosial budaya yang sudah mengakar di masyarakat Indonesia.

Dia menyebut, di beberapa daerah di kawasan timur pulau Jawa yang dikenal wilayah tapal kuda, KPAI banyak menemukan usia anak yang sudah dipekerjakan oleh orang tua mereka. Kondisi itu, sebut Susi, sudah menjadi budaya warga setempat.

Untuk bisa menerapkan aturan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak pada akhirnya bakal berbenturan dengan budaya di wilayah tersebut.

Sedangkan untuk di kota-kota besar seperti Jakarta, Susi menilai, pemerintah kerap tersandung hal lain saat ingin merealisasikan target Indonesia Bebas Anak Jalanan.

“Ketika kami melakukan advokasi, hantamannya kepada kami adalah kriminalisasi. Jadi, ‘kemiskinan’ akan selalu dijadikan judul untuk banyak hal,” kata dia.

Pun dengan kesalahpahaman yang menyebut anak-anak terlantar di jalanan kota besar terjadi karena semata-mata alasan faktor ekonomi. “Itu salah besar,” tegas Susi.

Susi menilai, perkara kurangnya kasih sayang orang tua, tidak terpenuhi hak-hak tumbuh berkembang anak seperti beristirahat dan bermain, menjadi sederet alasan yang memicu anak-anak terlantar dan kemudian hidup di jalanan.

“Dalam banyak kasus, anak-anak terlantar ini muncul karena disfungsi keluarga. Di situ artinya, ketahanan keluarga menjadi kunci utama penanganan masalah anak,” kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI