Kisah Klasik Jakarta, Kepiluan Pengasong Anak Berbalut Tisu

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 21 November 2017 | 06:00 WIB
Kisah Klasik Jakarta, Kepiluan Pengasong Anak Berbalut Tisu
Seorang anak perempuan menawarkan tisu di salah satu kedai makanan di sebuah kawasan wisata kuliner di Jakarta Pusat. (Megiza Asmail - Anadolu Agency)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tampang bocah laki-laki itu memelas saat menawarkan tisu ukuran travel pack kepada tamu sebuah kedai kopi di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat.

“Kak, tisunya dua sepuluh ribu saja, Kak,” kata Alif, berharap dua orang di hadapannya trenyuh dan membeli barang yang dijualnya.

Tak berhasil menggugah iba si tamu, dia menggunakan ‘senjata’ lain agar hati dua pria yang sedang menikmati kopi dan roti bakar di hadapannya itu luluh.

“Kak, buat bayar sekolah, Kak,” ujar Alif.

Baca Juga: Demi Bajak Pemain Incaran Barcelona, Madrid Rela 'Buang' Bale

Sekejap, dua pak tisu itu berpindah tangan. Alif melenggang meninggalkan kedai kopi sambil menyelipkan selembar uang Rp10 ribu ke saku celananya.

Alif hanya satu dari sekitar belasan anak yang tiap malam wira-wiri di kawasan wisata kuliner yang dikenal dengan sebutan Jalan Sabang itu.

Menjinjing kantong plastik berisi tisu-tisu ukuran travel pack, menawarkan ke tamu rumah makan-kedai kopi-hingga warung tenda, menjual raut pilu, sudah menjadi rutinitas Alif dengan teman-temannya tiap malam.

Setiap harinya, Alif mengakui membawa 18 pak tisu. Selepas Magrib, bersama empat temannya, dia berangkat dari rumahnya di kawasan Kramat Pulo menuju Monas.

Baca Juga: Kisah 'Comeback' Penyerang Gaek Ibrahimovic

Di sana, kata Alif, dia berkumpul dengan teman-temannya yang lain, sebelum berjalan kaki menuju sebuah rumah yang disebutnya sebagai pabrik tisu di permukiman dekat Jalan Sabang.

Mengasong tisu, sebut Alif, sudah dilakukannya selama beberapa tahun. Dia berdagang setiap hari sampai jam 05.00 pagi.

Dengan jam ‘beredar’ terbilang hampir 12 jam itu, Alif mengatakan tetap bisa bersekolah. Dia mengakui masih terdaftar sebagai murid kelas 4 di Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah, Jakarta Pusat.

Enggak, enggak ngantuk pas sekolah, sudah biasa. Tidurnya ya siang, habis sekolah nanti,” sebut Alif.

Saat bicara dengan Anadolu Agency, Alif, yang menyebut tinggal dengan Kakeknya bersama sembilan teman dan juga saudaranya itu berkisah sudah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.

Ayahnya, pengamen yang mengenalkan Alif kali pertama dengan lingkungan Jalan Sabang, sudah mati karena sakit ketika dia berusia enam tahun. Dua tahun kemudian Ibunya menyusul sang Ayah.

Cerita kenestapaan hidup Alif persis seperti di drama-drama televisi. Memedihkan hati siapa pun yang menyimaknya, meski tak diketahui perkara benar-tidaknya.

Jika Alif menjajakan kisah pilu berbungkus tisu, maka berbeda cerita dengan Bunga dan Desy. Dua bocah perempuan berusia 9 dan 5 tahun itu berjualan tisu dengan riang, sementara Ibu mereka menguntit dari belakang sepanjang jalan.

“Kalau aku bawa 10 tisu, Desy bawa tiga. Mama bawa tisu sisanya,” kata Bunga sambil menunjuk Ibunya yang berdiri di balik mobil yang terparkir di depan kedai kopi.

Ketika Anadolu Agency bertemu mereka sekitar pukul 19.00 WIB malam itu, Bunga dan Desy terlihat memulai berjualan dengan wajah yang masih segar, seperti baru mandi.

Pakaian yang mereka kenakan jauh dari kata lusuh. Persis seperti Alif, yang mengenakan kemeja dan celana panjang yang terlihat bersih.

Bunga dan Desy juga terlihat berlari-larian penuh canda di kawasan malam itu meski tisu yang ditawarkannya tidak berhasil ditukar dengan lembaran rupiah. Tidak seperti Alif yang memasang raut murung jika dagangannya ditolak mentah-mentah.

Sesekali dua anak perempuan ini mendekati Ibu mereka yang membuntuti lima meter di belakang mereka. Wanita itu memantau lekat-lekat Bunga dan Desy.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI