Suara.com - Mimpi tak mengenal kasta, siapa pun boleh memilikinya. Termasuk seorang gadis cilik yang lahir dan tumbuh di tengah keluarga pemulung.
Siti Fatimah (12) berperawakan kurus, tingginya hanya sedada orang dewasa. Namun gadis cilik ini punya mimpi yang lebih besar dari tubuhnya.
Terlahir sebagai bungsu dari lima bersaudara pasangan Mintarsih (42) dan Nyamling (45) yang hidup di kawasan lapak pemulung di Jatipadang, Jakarta Selatan, sang ibu berkata bahwa salah satu cita-cita putrinya kala dewasa nanti ialah menjadi artis.
"Di telepon genggam saya banyak foto dan video Siti, lagi macam-macam lah gayanya," ujar Ibu Mintarsih sambil tergelak membicarakan tingkah anaknya kepada Anadolu Agency di rumahnya, Sabtu (18/11/2017).
Baca Juga: Laila Sari Diam-diam Siapkan Kain Kafan Sebelum Meninggal
Saat ini, Siti duduk di bangku kelas enam di Madrasah Ibtidaiyah Darul Muttaqin, Jatipadang, yang jaraknya hanya sepuluh menit dengan sepeda motor dari rumahnya.
Yang disebut “rumah” itu adalah bedeng atau gubuk amat sederhana berukuran 3x5 meter, terbuat dari tripleks, seng, dan asbes di belakang kolam pemancingan di Jatipadang.
Keluarga ini asli berasal dari Bekasi, Jawa Barat, dan mengadu nasib ke Jakarta pada 2006 ketika Siti masih bayi merah. Nyamling memutuskan hijrah ke ibukota dan mencari nafkah sebagai pemulung. Sawah yang dulu dia kelola di Bekasi tak lagi menghasilkan, kata dia.
Dari memulung botol plastik, Nyamling mendapat Rp 300-500 ribu per minggu, sementara Mintarsih menghasilkan Rp 250 ribu per bulan dari menyetrika baju tetangganya.
Baca Juga: Laila Sari Meninggal Dunia, Anies Baswedan Turut Berduka
Kedua abang Siti, Taupik Hidayat (24) dan Hidayatullah (21), sama-sama memulung seperti bapaknya dan membantu menghidupi keluarga semampu mereka.
Kakak perempuan Siti yang bernama Sri Hartini (17) baru menikah selepas Lebaran 2017 dan sedang berbadan dua. Sri kini tinggal dengan suaminya di Bekasi, tak lagi bersama keluarganya di Jatipadang.
Sama seperti Sri, Taupik juga keluar rumah ketika ia menikah dan kini tinggal di bedeng yang berdekatan dengan rumah keluarganya.
Hidup memang susah untuk keluarga ini, tapi Siti berkeras untuk sekolah.
Mau Jadi “Orang”
Kendati guru-guru dan wali kelas Siti di sekolah mengatakan bahwa prestasi Siti tergolong biasa, namun mereka mengakui semangat belajarnya sangat tinggi.
"Dia tidak mau bolos sekolah. Saat sakit pun tetap masuk, kecuali sakit tipus seperti setelah Idul Fitri tahun ini," kata Mintarsih.
Ketika mendapati Sri memutuskan untuk tidak menuntaskan pendidikannya di jenjang sekolah menengah pertama dan memilih menikah di usia 17 tahun, Siti berkata kepada ibunya bahwa ia tidak mau seperti Sri.
"Siti bilangnya mau sekolah sampai kuliah, sampai jadi orang," kata Mintarsih.
Saat masih duduk di kelas satu dan dua dulu, Siti sering belajar terlalu keras setiap menjelang ulangan sampai badannya panas dan mimisan. Untungnya sekarang ini tidak terjadi lagi.
Sampai sekarang pun Siti kerap menangis setiap kesulitan mengerjakan PR. Namun dia kemudian mendatangi rumah tetangganya dan minta diajarkan sampai bisa.
Dari semua mata pelajaran yang dipelajarinya di sekolah, Siti punya satu favorit.
"Siti sukanya matematika. Suka hitung-hitungan," kata Siti sambil tersenyum.
Sepulang sekolah, Siti sudah biasa membantu bapaknya menyortir botol-botol plastik hasil pulungan. Rasa malu ditepisnya, walaupun label "anak pemulung" disematkan oleh beberapa teman sekolahnya.
"Supaya pintar. Biar bisa jadi guru, penyanyi, dan ngehajiin Emak," kata Siti.
Dengan bayaran sekolah Rp 70 ribu per bulan, uang buku Rp 800 ribu, dan kewajiban membayar Rp 50 ribu setiap hendak mengikuti ujian, keluarga Siti tidak habis akal demi pendidikannya. Orang tua Siti memenuhi semua bayaran tersebut dengan cara mencicil sedikit-sedikit.
Rajin dan Berbakti
Sepulang sekolah pukul 12.00 WIB, Siti langsung berjalan kaki ke rumah selama sekitar 20 menit. Tak segan ia mencuci piring maupun baju bahkan tanpa diperintahkan oleh ibu.
Ketika ibu atau bapak sakit, dengan sigap ia menawarkan diri untuk membeli makanan atau memijit orang tuanya.
Setelah Nyamling selesai memulung dan kembali ke rumah dengan hasil pulungannya, tanpa ragu Siti membenamkan jemari mungilnya ke puluhan botol dan barang plastik lainnya guna membantu sang bapak memilah-milah.
Bapaknya sendiri sampai terkagum dengan kedewasaan putri bungsunya.
"Anak ini beda dari anak-anak saya yang lain. Siti sangat perhatian," kata Nyamling.
Layaknya anak pada umumnya, Siti gemar bermain baik dengan saudara maupun dengan teman-temannya. Usai bermain, ia selalu menyempatkan diri untuk mengerjakan PR atau belajar.
Seolah tak puas dengan ilmu yang didapat di sekolah, Siti pun memperdalam materi di sekolah gratis untuk pemulung "Saungelmu", yang hanya sepelemparan batu dari rumahnya.
Resmi berdiri pada 2011, sekolah yang didirikan oleh seorang mantan pemulung, Erwin "Sating" Saleh (39), ini memiliki sekitar 25 murid usia 4-12 tahun yang belajar secara cuma-cuma setiap Sabtu dan Minggu siang. Pengajarnya sendiri merupakan sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri di sekitar Jakarta yang mengajar secara sukarela.
"Siti aktif bertanya kepada kakak-kakak mahasiswa di Saung. Ia bahkan sering mengajak teman-temannya untuk ikut belajar di sini," kata Sating yang sekarang bekerja sebagai office boy di suatu perusahaan di Jakarta Selatan.
Ketika Anadolu Agency mengunjungi Saungelmu, tampak Siti serius menyimak materi yang disampaikan oleh relawan pengajar sambil sesekali menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pengajar. Bahkan saat beberapa temannya mengajak bercanda, Siti memilih diam dan terus belajar.
Begitulah kisah Siti kecil. Gadis cilik murah senyum dan berparas ayu yang tekadnya menuntut ilmu menempanya untuk terus maju di tengah impitan bedeng-bedeng kelabu.