Kisah Bocah-Bocah Pengungsi di Indonesia

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 21 November 2017 | 05:00 WIB
Kisah Bocah-Bocah Pengungsi di Indonesia
Seorang anak mengisi air minum di Refugee Learning Center (RLC), Cisarua, Bogor pada 13 November 2017. [Anton Raharjo/Anadolu Agency]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nama saya Nurhassna. Umur saya 7 tahun. Saya Myanmar Rohingya. Saya ingin tahu, apakah di dunia ini tidak ada bumi (tempat) untuk Rohingya?

Saya mau tanya Presiden Myanmar Aung San Suu Kyi. Kenapa kau bunuh kami? Kenapa kau bunuh saudara-saudari kami?

Kenapa kau bunuh orang tua kami? Kenapa kau bunuh anak-anak kecil kami?

Apakah salah kami?

Baca Juga: Laila Sari Meninggal Dunia, Anies Baswedan Turut Berduka

Sebanyak mana lagi kau mau bunuh kami? Sampai kapan lagi mau bunuh kami?

Tolong … tolong … berhentikanlah Aung San Suu Kyi membunuh Rohingya.

Nurhassna, pengungsi asal Rohingya yang kini duduk di Kelas 2 SDN Cimanggis, Depok, itu membacakan puisinya saat aksi bela Rohingya di Jakarta pada September lalu.

Seusai demonstrasi bertubi-tubi yang ditujukan ke Kedutaan Besar Myanmar itu mereda, Nurhassna kembali menjalankan aktivitasnya sebagai siswa pengungsi.

Di Depok ada lima keluarga Rohingya, terdiri dari 21 orang. Sembilan orang dari mereka anak-anak, dan lima di antaranya sudah masuk usia sekolah.

Baca Juga: Dana Rehab Air Mancur DPRD Rp620 Juta, Sandiaga: Itu Aset Negara

Nurhassna menjadi satu-satunya anak Rohingya yang bersekolah formal. Dia menyukai pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.

Statusnya sebagai pengungsi di negeri orang rupanya tak menyurutkan cita-cita dia untuk menjadi dokter. “Agar bisa membantu banyak orang”, kata Nurhassna kepada Anadolu Agency, sabtu (18/11) akhir pekan lalu.

Hidup di dalam kelompok pengungsi, bukan perkara mudah untuk dijalani Nurhassna. Terlebih dia punya hasrat yang besar untuk dapat mengenyam pendidikan laiknya anak-anak seusianya.

Di Cimanggis, anak-anak pengungsi ini harus berjuang keras untuk mendapatkan buku-buku, meja belajar, papan tulis, dan peralatan belajar lainnya.

“Mungkin karena komunitas kami kecil dan tersebar, makanya kami kurang diperhatikan,” kata Nurhassan, ayah Nurhassna.

Anwar Sadat, 37, pengungsi Rohingya lainnya agaknya tidak bisa diam ketika menyaksikan anak-anak dari negaranya itu kehilangan kesempatan belajar.

Dia rela memungut kayu-kayu bekas untuk membuat meja untuk lima orang anak Rohingya yang belajar di rumah kontrakkannya di Depok, Jawa Barat.  

Bersama istrinya, Bilkis, 26, Anwar mengajarkan baca-tulis, Bahasa Inggris, Burma, Rohingya, dan sedikit Bahasa Indonesia.

“Kami belajar dari Senin sampai Jumat. Setiap hari satu jam saja di pagi hari,” kata Anwar yang pernah bekerja di lembaga bantuan asing di Arakan, Myanmar.

Beda pengungsi, Beda Keberuntungan

Jika Nurhassna harus memupuk tekad lebih keras untuk mendapatkan pendidikan, maka kehidupan yang berbeda dirasakan oleh anak pengungsi dari Afghanistan.

Murtaza, 6, lebih beruntung dibanding Nurhassna dalam soal mendapatkan pendidikan. Komunitas pengungsi Afganistan yang berada di kawasan Puncak, Bogor, terbilang mempunyai fasilitas pendidikan yang baik.

Bahkan hampir semua anak-anak usia sekolah mereka bisa dengan mudah mengenyam pendidikan.

Sama seperti Nurhassna, Murtaza juga mempunyai cita-cita yang tinggi.

Dia ingin menjadi pilot. Bisa berkeliling dunia dan kembali ke Afghanistan pada suatu hari nanti adalah mimpinya.

“Saya ingin sekolah di universitas dan menjadi pilot,” kata Murtaza yang didampingi ayahnya, Abdul Aziz.

Di kawasan Puncak, ada lima sekolah informal (learning centre) yang dikelola para pengungsi Afghanistan.

Kelima sekolah itu punya daftar antrian mendaftar (waiting list) anak-anak yang cukup banyak.

“Jumlah anak yang terdaftar di waiting list sekolah-sekolah kami sangat banyak. Ada yang puluhan, ada yang sampai seratus orang. Artinya semangat belajar kami memang tinggi,” kata Liaquat Ali Cenghazi, Kepala Sekolah Refugee Learning Center (RLC), salah satu sekolah pengungsi Afghanistan.

Liaquat mengatakan, kelima sekolah pengungsi di kawasan Puncak didirikan oleh etnis Hazara yang datang dari Afganistan, Pakistan, dan Iran.

Kata dia, bagi komunitas Hazara, pendidikan adalah hal kedua yang harus mereka cari setelah mendapat tempat mengungsi.

“Setelah mendaftar ke UNHCR, kami langsung mencari sekolah untuk anak-anak kami,” kata Hazara asal Pakistan ini.

Sejak 2013 segelintir pengungsi Afganistan mulai membuat sekolah informal mereka sendiri. Mereka mengajarkan Bahasa Inggris, matematika, sejarah, geografi, dan sains.

Sekolah itu dibuat setelah para pengungsi tidak mendapat izin saat mencoba mendaftar di sekolah umum Indonesia.

Inisiatif mereka kemudian dilirik oleh UNHCR dan beberapa lembaga non-pemerintah luar negeri.

Sejak itu mereka mendapatkan bantuan pelatihan guru dari Australia dan Amerika Serikat. Sehingga hampir seluruh kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah pengungsi Afganistan menggunakan Bahasa Inggris.

Karena alasan bahasa ini juga, jumlah pengungsi yang terdaftar di sekolah umum di Indonesia sedikit. Ada sebanyak 81 orang dari sekitar 3600 pengungsi usia sekolah (di bawah usia 18) yang terdaftar di UNHCR.

Padahal menurut UNHCR, para penungsi diizinkan bersekolah di sekolah negeri di Indonesia.

“Pada 2016 kami memang dibolehkan mendaftar. Tapi kami harus belajar Bahasa Indonesia dahulu sebelum masuk sekolah. Itu yang sulit,” ujar Liaquat.

Alasan lainnya, kata Liaquat, para pengungsi sedang menunggu ditempatkan di negara ketiga yang akan menerima mereka seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.

Karena negara-negara yang akan menerima mereka menggunakan bahasa Inggris untuk percakapan sehari-hari, Bahasa Inggris pun menjadi target utama pembelajaran.

“Itu sebabnya sekolah kami berbahasa Inggris. Orang dewasa dan para orang tua juga ikut kursus Bahasa Inggris di kelas sore,” kata Liaquat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI