Kurnia melanjutkan, KPK juga tak memerlukan surat izin dari presiden untuk memanggil Setnov sebagai tersangka.
“Sebab, Pasal 251 ayat 1 yang menyebut harus ada surat izin presiden itu tidak berlaku untuk anggota DPR yang disangkakan melakukan pelanggaran pidana khusus seperti yang dijelaskan pada Pasal 245 ayat 3 huruf C,” terangnya.
Ia menjelaskan, “pidana khusus” yang dimaksud UU MD3 itu merujuk tindak pidana yang tak diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Kejahatan korupsi termasuk yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus. Ini terbukti dengan adanya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang sudah diubah dalam UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Jadi, tipikor diatur di luar KUHP,” jelasnya.
Baca Juga: Setnov Kecelakaan, Mungkinkah Fortuner Ringkih?
"Jadi sudah jelas jika KPK ingin memanggil seorang anggota DPR yang berstatus sebagai saksi atau tersangka dengan dugaan melakukan tindak pidana korupsi tidak memerlukan izin dari Presiden," Kurnia menambahkan.
Pelanggaran kedua yang dianggap dilakukan Yunadi adalah, melaporkan dua orang pemimpin KPK—Agus Rahardjo dan Saut Situmorang—dan dua orang penyidik lembaga itu, yakni Aris Budiman serta Ambarita Damanik, karena diduga tidak patuh terhadap perintah pengadilan.
Kurnia mengatakan, argumen itu coba dibangun oleh tim kuasa hukum Novanto berdasarkan putusan praperadilan yang telah menggugurkan status tersangka Novanto.
Padahal, lanjut dia, sudah jelas tertera dalam Pasal 2 Ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
Pasal itu disebutkan, “pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formal yaitu apakah ada sedikitnya dua alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.”
Baca Juga: Polisi Belum Temukan Bercak Darah di Mobil yang Ditumpangi Setnov
Selain itu, pada ayat 3 dalam pasal yang sama disebutkan, putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi.