Sepasang Remaja Diarak Bugil, Ini Sikap Tegas ICJR

Siswanto Suara.Com
Selasa, 14 November 2017 | 11:51 WIB
Sepasang Remaja Diarak Bugil, Ini Sikap Tegas ICJR
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Institute for Criminal Justice Reform mengecam keras tindakan main hakim sendiri yang dilakukan warga Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten, -- khususnya ketua RT dan RW setempat -- terhadap pasangan muda mudi. Warga secara sewenang-wewenang mengarak mereka dan tak segan-segan menelanjangi dan mempertontonkan kemaluan korban di depan umum.

IJCR menjelaskan hingga saat ini, peraturan perundang-undangan Indonesia sama sekali tidak mengatur adanya tindak pidana kesusilaan pada ranah privat dalam ruang tertutup, dan dilakukan dengan konsen atau persetujuan antar para pihak yang terlibat, sehingga apa yang dilakukan oleh warga Cikupa tersebut telah melanggar hak atas privasi pasangan yang bersangkutan, dan dilakukan tanpa hak dan wewenang apapun.

Padahal, tidak ada perbuatan apapun terkait dengan kesusilaan yang dilakukan oleh pasangan tersebut. Tindakan warga yang main hakim sendiri atau persekusi tersebut dapat diganjar dengan pidana berlapis, salah satunya Tindak Pidana Kesusilaan di depan umum Pasal 282 ayat (1) KUHP dan Pasal 35 UU Pornografi tentang menjadikan orang lain objek atau model yang bermuatan pornografi, namun sayangnya justru kembali berpotensi menyerang korban.

Dalam pernyataan tertulis, ICJR mengungkapkan fakta ini kembali mengingatkan tentang pentingnya mengatur norma kesusilaan secara hati-hati, jangan sampai pengaturan tindak pidana menjadi eksesif tidak hanya untuk mengatasi permasalahan kejahatan, namun digunakan sebagai pengontrol masalah moral masyarakat yang tidak relevan untuk dilindungi. Hukum pidana seharusnya bersifat ultimum remedium.

Pengaturan yang berpotensi menghadirkan persekusi dapat terlihat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah dan DPR di Parlemen. Beberapa pasal dalam RKUHP khsusunya mengenai tindak pidana kesusilaan lantas menghadirkan potensi terjadinya tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat.

Pertama, ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP yang mengatur perluasan asas legalitas hukum pidana Indonesia dimana dalam pasal ini hukum yang hidup di masyarakat menetukan dapat atau tidaknya seseorang dipidana, hal ini jelas menimbulkan celah hukum yang sangat multi tafsir dan melahirkan potensi terjadinya tindak pidana main hakim sendiri, dan secara jelas melanggar asas hukum pidana itu sendiri dimana norma hukum pidana harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti apa yang dibaca (lex stricta) dan tidak multitafsir (lex certa).

Mengakomodir hukum yang hidup di masyarakat yang sifatnya sangat dinamis, subjektif dan sangat bergantung pada konsep mayoritas secara jelas akan melahirkan norma hukum yang tidak jelas yang melanggar fungsi hukum pidana itu sendiri untuk melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang negara.

Kedua, ketentuan Pasal 484 ayat (1) huruf e RKUHP yang memberikan definisi luas mengenai tindak pidana zina, dimana zina diartikan termasuk didalamnya persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah. Dalam Pasal 484 ayat (2) dijelaskan bahwa tindak pidana ini dapat dituntut jika adanya pengaduan dari suami, istri atau pihak ketiga yang tercemar.

Menurut ICJR  ketentuan ini justru menghadirkan potensi main hakim sendiri karena adanya “pihak ketiga yang tercemar” diperbolehkan untuk melakukan penuntutan. Unsur ini sangat multitafsir dan tidak ada penjelasan spesifik mengenai “pihak ketiga yang tercemar”, terlebih lagi unsur inti pada ketentuan ini yaitu “persetubuhan antara laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah” rentan disalahgunakan. Ketentuan Pasal 484 ayat (1) huruf e yang hanya memberi batas terjadinya persetubuhan secara potensial justru dapat menyasar korban-korban perkosaan dengan pembuktian yang cukup sulit. Aparat penegak hukum lantas menggunakan ketentuan pasal ini yang mana mereka tidak perlu membuktikan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga relatif lebih mudah pembuktiannya dan lantas berpotensi mengkriminalisasi korban.

Ketiga, ketentuan Pasal 488 RKUHP yang mekriminalisasi “melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah”. Ketentuan Pasal ini juga rentan memicu terjadinya persekusi oleh masyarakat sekitar karena tidak jelasnya aturan yang dimaksud. Dalam pasal tersebut dimuat ketentuan mengenai “perkawinan yang sah” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diakui bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan agama.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI