Kisah Nenek Pemulung Bersuami Tukang Cacing

Senin, 13 November 2017 | 12:54 WIB
Kisah Nenek Pemulung Bersuami Tukang Cacing
Nenek Ncas di Kanal Banjir Barat [suara.com/Erick Tanjung]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Pukul 08.30 WIB. Alat berat, beko, tanpa kasihan menggaruk gubuk-gubuk liar yang berdiri di sepanjang Kanal Banjir Barat. Bangunan-bangunan itu pun dengan cepat ambruk, rata dengan tanah.

Salah satu gubuk yang dihancurkan milik Ncas, seorang wanita ‎tua yang sehari-hari menjadi pemulung. Nenek 60 tahun itu hanya bisa duduk di tumpukan barang-barang bekas.

Sorot matanya kosong, menatap ke arah alat berat yang menghajar tempat tinggalnya dan tempat tinggal tetangga-tetangganya. Sesekali, ia melirik ke petugas yang berlalu lalang mengatur proses penertiban bangunan ilegal.

‎Penertiban dilaksanakan Pemerintah Kota Jakarta Pusat dengan mengerahkan ratusan petugas Satpol PP, petugas dinas kebersihan, kepolisian, dan TNI.
 


‎Ncas sudah 15 tahun tinggal di gubuk itu. Gubuk berdiri di bantaran kali. Orang-orang menyebut daerah ini Bongkaran.

Setelah tempat tinggal diratakan dengan tanah, Ncas belum tahu mau tinggal dimana.

"Saya belum tahu mau pindah kemana, sehari-hari memulung hasilnya cuma dapat Rp30 ribu dan habis untuk makan," kata Ncas kepada Suara.com.

Ncas asal Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Di gubuk itu seleama ini dia tinggal bersama suami dan anak. Anaknya karyawan warung. Suaminya penari cacing. Cacing-cacing yang ditangkap lantas dijual ke tempat pemancingan ikan.
 
"Suami saya kerjanya mencari cacing. Kalau cacingnya sudah terkumpul 1kg baru dijual ke pemancingan. Satu kilogram cacing dibayar Rp40 ribu, tapi kan nggak setiap hari dapat sekilo," ujar dia.

Untuk sementara ini, dia mau pulang kampung dulu. Tetapi tergantung ongkos. Kalau dia sudah bisa menemui saudara dan diberi pinjaman, barulah pulang ke Indramayu.

Saat ditanya petugas Pemerintah Jakarta Pusat apakah bersedia dipulangkan secara gratis, Ncas menolak.

"Saya tunggu suami dan anak saya dulu. Suami saya sedang mencari cacing," kata dia.

Pengalaman digusur

Ncas bukan sekali ini merasakan penertiban. Zaman Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pernah mengalaminya.

Tetapi tak lama kemudian, dia dan teman-temannya kembali membangun gubuk. Kenapa? Karena mereka butuh gudang untuk menampung barang bekas.

Pemulung bernama Ros (38) sudah 10 tahun tinggal di kawasan kumuh itu.

"Dulu saya tinggal di gubuk dekat rel kereta (area stasiun Tanah Abang) karena di gusur ‎saya pindah ke sini. Sekarang digusur lagi, saya bingung mau pindah kemana lagi," ujar dia.

Ros mengatakan cuma tempat ini yang bisa menyimpan barang-barang bekas hasil memulung.

"Saya butuh tempat naroh bara, karena setelah mulung kan nggak langsung di jual, tapi disetorin dulu," kata Ros.

Ada 130 gubuk liar di Kanal Banjir Barat.‎ Gubuk-gubuk berdiri memakan setengah badan jalan inspeksi.

Sebenarnya yang tinggal di sana bukan cuma pemulung. Ada juga yang kerjanya pengamen, bahkan tukang copet.

Salah satu faktor jadi alasan kuat pemerintahan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menertibkan tempat itu adalah adanya aktivitas prostitusi.

‎Jangan disangka malam hari situasi di sana seperti siang hari yang sepi. Setelah matahari terbenam, tepatnya di bawah jembatan, mulailah kegiatan esek-esek.

REKOMENDASI

TERKINI