HNW: Apakah Itu Palsu atau Tidak? KPK Perlu Membuktikan

Jum'at, 10 November 2017 | 15:38 WIB
HNW: Apakah Itu Palsu atau Tidak? KPK Perlu Membuktikan
Wakil Ketua MPR RI Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid. [Suara.com/Dian Rosmala]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Wakil Ketua MPR Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid yakin Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK tidak melakukan tindak pidana membuat surat palsu dan penyalahgunaan wewenang.
 
Tetapi, Hidayat tetap menyarankan KPK untuk memberikan bukti untuk menyanggah laporan yang dibuat pengacara Setya Novanto, Sandy Kurniawan.
 
"Karena KPK ini lembaga yang diberi kewenangan memberantas korupsi. Di antara korupsi itu kan pemalsuan. Apakah itu palsu atau tidak? KPK perlu membuktikan," ujar Hidayat, di DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (10/11/2017).
 
Hidayat mengaku tak bisa membayangkan apabila pimpinan KPK terbukti melakukan pelanggaran.
 
"Duh, saya tidak terbayang ada surat palsu dari KPK. Itu KPK perlu untuk mengklarifikasi. Karena sekarang kan banyak orang mudah membuat surat ya. Perlu klarifikasi KPK," kata Hidayat.
 
Surat yang dimaksud yaitu surat KPK berisi pemintaan perpanjangan pencegahan ke luar negeri terhadap Novanto yang dikirim ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
 
Menurut Hidayat Badan Reserse dan Kriminal Polri juga harus membuktikan. Bareskrim Polri sudah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan terhadap Agus dan Saut pada Selasa (7/11/2017).
 
Hidayat mengatakan Indonesia merupakan negara hukum.
 
"Prinsipnya ini kan negara hukum. Negara hukum, tidak boleh lembaga negara, individu apapun melakukan tindakan tidak ada buktinya. Nggak boleh. Itu namanya pelanggaran hukum," tutur Hidayat.
 
"Cuma masalahnya SPDP itu ada bukti atau tidak, saya tidak tahu. Karena itu penting bagi polisi mempertanggung jawabkan. Kalau tidak ada buktinya, kenapa dikenakan SPDP," Hidayat menambahkan.
 
Surat pencegahan Novanto sah 
 
Penerbitan SPDP terhadap pimpinan KPK dilakukan tak lama setelah lembaga antirasuah kembali mengeluarkan perintah penyidikan terhadap Novanto.
 
KPK menegaskan bahwa surat pemintaan perpanjangan pencegahan ke luar negeri terhadap Novanto sesuai prosedur.

"Aturan pertama, yaitu Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK Pasal 12 ayat 1 huruf b memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, kemarin.

Selanjutnya, kata dia, Undang-Undang Imigrasi Nomor 6 Tahun 2011 diatur dalam Bab IX Pencegahan dan Penangkalan Pasal 91 sampai dengan Pasal 103.

"Pasal 91 ayat (2) Menteri melaksanakan pencegahan berdasarkan perintah Ketua KPK sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," katanya.

Selain itu, kata dia, pelaksanaan pencegahan dan penangkalan Undang-Undang Imigrasi Nomor 6 Tahun 2011 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 Pasal 226 ayat (2) Menteri melaksanakan pencegahan berdasarkan perintah Ketua KPK sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

"Aturan selanjutnya, putusan Mahkamah Konstitusi: PUT Nomor 64/PUU-IX/2011-Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia," katanya.

Putusan MK itu, menurut dia, tidak mengurangi kewenangan KPK yang diatur di Pasal 12 ayat (1) huruf b UU 30 Tahun 2001 tentang KPK untuk memerintahkan instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri dalam tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

"Pasal 12 ayat (1) huruf b tidak mengatur apakah seseorang itu harus tersangka, terdakwa atau tidak. Ini merupakan ketentuan yang bersifat khusus," tuturnya.

Lebih lanjut, ia menyatakan inti dari putusan tentang jangka waktu pencegahan itu tertuang di Pasal 97, yakni pencekalan lebih dari setahun batal demi hukum.

"MK membatalkan ketentuan boleh memperpanjang cekal tanpa batas dan MK putuskan bahwa cekal hanya enam bulan dan hanya boleh diperpanjang sekali lagi maksimal enam bulan. Dengan demikian cekal hanya maksimum 12 bulan saja. Lebih dari 12 bulan dinyatakan MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945," ujarnya.

Menurut dia, pada putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diajukan oleh Setya Novanto juga sudah menegaskan bahwa Hakim Tunggal Cepi Iskandar tidak mengabulkan petitum ke-4.

"Yaitu, permintaan pemohon untuk mencabut penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto yang dilakukan KPK. Ditegaskan bahwa penetapan tersebut merupakan kewenangan administrasi dari pejabat administrasi yang mengeluarkan penetapan," kata Febri.

"Dapat disimpulkan pelaksanaan pencegahan seseorang ke luar negeri adalah tindakan yang sah secara hukum, bukan penyalahgunaan wewenang apalagi pemalsuan surat."

"Tindakan ini bahkan penting untuk memperlancar penanganan kasus korupsi, terutama untuk memastikan saat saksi atau tersangka dipanggil maka mereka sedang tidak berada di luar negeri," ungkap Febri.

Ia mengingatkan agar para saksi dan tersangka yang dipanggil mematuhi aturan hukum yang berlaku, terutama dalam pemenuhan kewajiban hukum untuk datang jika dipanggil sebagai saksi.

Dalam penanganan kasus KTP-e, KPK sudah melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap sembilan orang dengan ragam waktu sesuai kebutuhan penanganan perkara itu.

Sembilan orang itu, yakni Vidi Gunawan adik dari Andi Narogong, Dedi Prijono kakak dari Andi Narogong, Made Oka Masagung pengusaha sekaligus mantan bos PT Gunung Agung, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo keponakan Setya Novanto yang juga mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera.

Selanjutnya, Esther Riawaty Hari berprofesi sebagai ibu rumah tangga, Setya Novanto, Inayah istri dari Andi Narogong, Raden Gede adik dari Inayah, dan Dirut PT. Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI