Suara.com - "Sejarah dan kepahlawanan dimiliki oleh para penguasa", begitulah adagium yang disebut kali pertama dilontarkan oleh Napoleon Bonaparte. Namun, realitas di Indonesia menampakkan sebaliknya.
Soleman Ngongo kikuk saat harus masuk ke Istana Negara, saat diundang Presiden RI kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono, Sabtu, 7 Juni 2011.
Ia bingung memutuskan, melepaskan atau tetap memakai alas kakinya memasuki istana nan megah tersebut.
Warga Desa Tematana, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, itu akhirnya memutuskan melepas alas kakinya saat beranjak masuk ke istana menemui presiden. Ia menyeker saat menerima Piala Kalpataru dari Presiden SBY.
Baca Juga: Laksamana Malahayati dan Sedikitnya Perempuan Pahlawan Nasional
"Saya takut mengotori lantai istana," tutur Soleman saat itu.
Ketakutan Soleman mengenai hal remeh temeh itu berbanding terbalik dengan jasa-jasanya kepada negeri.
Selama lebih dari 40 tahun terakhir ia merawat 240 pintu air primer, 140 sekundar, dan 160 pintu air tersier agar kelestarian alam di daerahnya terjaga.
Selang dua tahun, 2013, Ahmad, remaja pemulung di Kota Denpasar, Bali, mengejutkan banyak orang. Ketika memunguti sampah, ia menemukan sekotak perhiasan emas.
Dalam kotak tersebut terdapat gelang, kalung dan cincin, yang kalau dikonversi menjadi uang setara Rp300 juta saat itu.
Baca Juga: Novanto Cepat Ditangani, Gerindra Tak Heran Ada Tebang Pilih
"Saya menemukan kotak itu di bak truk sampah," tutur Ahmad kala itu.