Suara.com - Presiden Joko Widodo mengunegerahkan gelar "Pahlawan Nasional" kepada empat anak bangsa yang dinilai berkontribusi besar untuk Indonesia. Mereka adalah TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid, tokoh asal Nusa Tenggara Barat, Laksamana Malahayati (Keumalahayati), tokoh asal Nanggroe Aceh Darussalam, Sultan Mahmud Riayat Syah, tokoh asal Kepulauan Riau, dan Lafran Pane, tokoh asal Daerah Istimewa Yogyakarta.
Upacara penganugerahan dilakukan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (9/11/2017). Penganugerahan ini diputuskan melalui Kepres RI No 115/TK/tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan, yang mana keputusan diambil setelah sebelumnya Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan bersidang pada Oktober lalu.
Hadir dalam acara penganugerahan tersebut, keluarga ahli waris keempat tokoh, para menteri Kabinet Kerja, dan para pejabat tinggi negara lainnya.
Menteri Sosial (Mensos), Khofifah Indar Parawansa, mengatakan, dengan penganugerahan keempat pahlawan nasional baru tersebut, maka Pahlawan Nasional Indonesia saat ini berjumlah 173 orang, yang terdiri dari 160 laki-laki dan 13 perempuan. Mereka berasal dari kalangan sipil dan TNI/Polri.
Khofifah menjelaskan, pahlawan nasional merupakan gelar yang diberikan pemerintah kepada warga negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Ia juga dinilai tanpa cela semasa hidupnya.
"Mereka yang menyandang gelar pahlawan nasional tidak hanya yang berjasa di medan perang, tapi juga di bidang lain, yang gaung dan manfaatnya dirasakan secara nasional. Permohonan usul pemberian gelar pahlawan nasional kepada presiden dilakukan melalui Dewan Gelar, yang kemudian diadakan verfikasi, penelitian dan pengkajian melalui proses seminar, diskusi, serta sarasehan," katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial, Hartono Laras, mengatakan, ada syarat umum dan syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum akhirnya tokoh tersebut diputuskan memperoleh gelar Pahlawan Nasional oleh presiden. Atas semua syarat tersebut, empat tokoh yang memperoleh anugerah tahun ini dinyatakan lolos.
Hartono menerangkan, TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid, lahir di Nusa Tenggara Barat, 19 April 1908, dan wafat pada 21 Oktober 1997. Beliau merupakan seorang nasionalis pejuang kemerdekaan, da'i, ulama, dan tokoh pendidikan emansipatoris. Ia merupakan pendiri organisasi Islam Nahdatul Wathan. Organisasi ini menjadi organisasi Islam terbesar di Lombok, yang memberikan perhatian kepada pendidikan dan agama.
Gelar pahlawan nasional kedua diberikan kepada Laksamana Malahayati, yang merupakan tokoh pejuang asal Nanggroe Aceh Darussalam. Malahayati lahir pada 1550 dan wafat pada 1615. Ia dimakamkan di Krueng Raya, Aceh Besar.
Malahayati merupakan laksamana perempuan pertama dari Aceh. Ia membentuk pasukan "Inong Balee", yang berisi para janda prajurit Aceh yang mahir menembakkan meriam dan menunggang kuda.
Pada 1559, Malahayati memimpin armada laut berperang melawan Belanda dan berhasil menewaskan Cornelis De Houtman. Pada 1606, Malahayati bersama Darmawangsa Tun Pangkat (Sultan Iskandar Muda) berhasil mengalahkan armada laut Portugis.
Sebelumnya, nama Malahayati telah diabadikan sebagai nama kapal perang jenis perusak kawal berpeluru kendali kelas Fatahillah milik TNI AL, dengan nomor lambung 362.
Sementara itu, lanjut Hartono, gelar ketiga Pahlawan Nasional diberikan kepada Sultan Mahmud Riayat Syah, asal Kepulauan Riau. Sultan Mahmud lahir di Sulu Sungai Riau, Agustus 1760, dan wafat pada 12 Januari 1812. Pada rentang 1782-1784, Sultan berhasil mengalahkan Belanda yang ingin menanamkan pengaruhnya di Riau dalam Perang Riau I. Kapal Komando Belanda, Malaka's Walvaren berhasil diledakkan.
Pada 1784, Sultan kembali memimpin perang melawan Belanda, yang dipimpin Pieter Jacob van Braam, di Tanjung Pinang. Sultan Mahmud menolak ajakan Belanda untuk berdamai dan menerapkan startegi gerilya laut untuk mengacaukan perdagangan Belanda di Selat Melaka dan Kepulauan Riau.
Pada 1811, Sultan Mahmud mengirimkan bantuan kapal perang lengkap guna melawan ekspansi Belanda ke Sumatera Timur, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung.
Adapun, gelar pahlawan nasional keempat diberikan kepada Lafran Pane, tokoh asal Yogyakarta. Lafran Pane lahir di Sipirok, 12 April 1923 dan wafat di Yogyakarta, 24 Januari 1991. Lafran Pane dikenal sebagai tokoh pergerakan pemuda dan memprakarsasi pembentukan Himpunan Mahasiswa Islam pada 5 Februari 1947.
Dalam perjalanannya, HMI secara konsisten menolak gagasan Negara Islam, yang digagas oleh Maridjan Kartosoewiryo, pendiri gerakan Darul Islam. Lafran Pane menjadi salah satu tokoh utama penentang pergantian ideologi negara dari Pancasila menjadi komunisme.