Suara.com - Lembaga swadaya masyarakat Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mendesak Pemerintah Indonesia agar menghentikan kebijakan investasi di bidang batu bara sebagai pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), karena dinilai menghambat pemenuhan target pemangkasan emisi karbon Indonesia seperti yang diatur dalam Kesepakatan Iklim Paris.
Indonesia merupakan negara yang ke-89 meratifikasi Kesepakatan Iklim Paris dan perjanjian itu telah diundang-undangkan dalam UU No 16 Tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change.
Sementara saat ini Indonesia bersama 196 negara sedang membahas pelaksanaan Kesepakatan Iklim Paris dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang pengendalian perubahan iklim dunia atau Conference of Party 23 (COP 23) yang berlangsung di Bonn, Jerman, 6 sampai 17 November.
"COP23 seharusnya menjadi momentum penting bagi Indonesia, salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. COP23 menjadi ajang untuk menunjukkan komitmen penurunan emisi dan menuntut negara-negara lain menghentikan investasi di sektor batu bara," kata Kepala Kampanye Jatam, Melky Nahar, dalam keterangan persnya, Kamis (9/11/2017).
Pada COP 22 lalu di Maroko, Indonesia menjadi salah satu negara yang telah menyerahkan Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Di dalamnya Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional sampai dengan tahun 2030.
Tetapi alih-alih berupaya untuk menjalankan komitmennya, pemerintah justru banyak mendorong investasi batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) demi mengejar target proyek listrik 35.000 MW.
"Alhasil Indonesia tidak hanya semakin memproduksi emisi karbon dari pembakaran batu bara, namun juga dari pembongkaran hutan dan lahan akibat aktifitas penambangan batubara. Padahal laju deforestasi Indonesia sudah sangat parah dengan tingkat deforestasi 2,5 juta hektar per tahun," katanya.
Menurut Jatam, batu bara hingga saat ini masih mendominasi sumber pemenuhan listrik Indonesia. Hingga 2016 lalu kapasitas pembangkit listrik dari PLTU batu bara sebesar 21,1 GW dari total 52 GW.
Menurutnya, dominasi PLTU batu bara seharusnya ditekan oleh pemerintah, bukan malah mengundang investor untuk membiayai proyek elektrifikasi berbasis batu bara. Salah satu negara yang gencar melakukan investasi di PLTU batu bara di Indonesia adalah Jepang.
Lembaga keuangan Jepang seperti Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan Japan International Cooperation Agency (JICA) diketahui menyokong pengembangan PLTU Cirebon, PLTU Indramayu, dan PLTU Batang, yang menggunakan energi batu bara.
JBIC juga telah memberikan bantuan pembiayaan tambang batu bara di Malinau, Kalimantan Utara yang dijalan kan oleh PT Mitrabara Adiperdana (PT MA).
Investasi Jepang di sektor batu bara, tekan Jatam, mendatangkan ancaman yang serius bagi ruang hidup dan keselamatan warga di sekitar proyek. Di Cirebon, Indramayu, dan Batang, petani dan nelayan mengalami kerugian parah akibat lahan dan perairan di sekitar PLTU tercemar oleh limbah.
"Di Malinau, tambang batubara PT MA menyebabkan tercemarnya Sungai Malinau akibat tanggul pengolahan limbah batubara yang jebol," kata Melky.
Pemerintah Didesak Stop Dorong Investasi PLTU Batu Bara
Jum'at, 10 November 2017 | 02:16 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Intip Kelebihan Thorium, Sumber Energi 'Murah' Bidikan MIND ID
22 November 2024 | 09:11 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI