Suara.com - Konsolidasi kekuasaan di tangan Putra Mahkota Dinasti Saud, Mohammed bin Salman, telah menjalar ke semua aspek kehidupan rakyat, termasuk elite yang tak tersentuh. 11 Pangeran, 4 menteri, dan puluhan mantan menteri ditangkap karena korupsi.
Di luar pusat perbelanjaan Riyadh bulan lalu, Zeina Farhan sedang berjalan dengan kerudung di bahunya saat mobil polisi syariah berhenti. Dia terdiam, takut, saat seorang pria di kursi pengemudi menurunkan jendelanya.
"Tolong nona, bisakah kamu menutupi rambutmu," tanya sang polisi. "Saya bilang ok. Setelahnya polisi itu bilang terima kasih, dan dia pergi. Begitu saja. Sunggung menakjubkan," tutur Zeina, seperti dilansir The Guardian, Selasa (7/11/2017).
Seperti perempuan Saudi lainnya, hampir seluruh kehidupan dewasa Zeina terus dihantui ketakutan terhadap polisi syariah. Perempuan yang nekat tak memakai jilbab di tempat umum, dulu akan ditangkap dan dipenjara.
Baca Juga: Wanita Berjilbab Nyanyikan 'Ave Maria' di Misa Requiem Temannya
"Hinaan, penjara, cambuk, rasa malu, begitulah dulu. Tapi sekarang, melihat mereka (polisi syariah) berubah, sangat menakjubkan," tukas perempuan berusia 32 tahun itu.
Polisi syariah, bagi perempuan seperti Zeina, selalu dianggap seperti "kutukan". Namun, dalam kurun waktu setahun terakhir, banyak kewenangan polisi syariah yang dilucuti.
Mereka tak lagi dibolehkan menangkap dan menentukan apa yang benar atau salah. Puncaknya, pekan lalu, Kerajaan Arab Saudi meneken keputusan yang membuat kepolisian syariah tak lagi menjadi satuan sendiri, melainkan di bawah kuasa kementerian dalam negeri.
Potret buram kerajaan dan negeri itu telah berubah secara signifikan sejak 6 bulan silam. Persisnya saat Putra Mahkota Kerajaan Saudi, Mohammed bin Salman, menerapkan sejumlah kebijakan reformasi di segala aspek kehidaupan masyarakat sipil.
Tak ayal, reformasi itu memakan "tumbal". Sabtu (4/11) pekan lalu, 30 bangsawan senior kerajaan ditangkap atas tuduhan korupsi. Mereka lantas ditahan di sebuah hotel mewah, yakni Ritz Carlton.
Baca Juga: Polisi Ogah Berpolemik dengan Ide Anies Hapus Zona Larangan Motor
"Semua ini adalah pesan kepada dunia, bahwa Saudi sudah terbuka, terutama untuk bisnis global. Investor perlu memiliki keyakinan bahwa mereka bisa datang ke sini dan melakukan bisnis secara transparan," tegas seorang pejabat senior kerajaan.
Sejak awal pekan ini, warga Saudi mencoba memahami apa yang terjadi. Tak jarang mereka memuji Raja Salman dan sang putra mahkota yang menginisiasi reformasi.
"Dia (Raja Salman dan putra mahkota) merobek-robek sistem yang hampir mati yang telah disukai bangsawan di atas segalanya," kata seorang pengusaha senior Saudi.
"Mereka menghancurkan sistem elitisisme dalam negara. Mereka berupaya menciptakan sistem yang menempatkan warga sipil sebagai subjek," tambahnya.
Menantang Wahabiisme
Warga Saudi menilai, penangkapan banyak bangsawan senior atas tuduhan korupsi, merupakan upaya Putra Mahkota Mohammed bin Salman untuk mengonsolidasikan kekuasaan baru sebelum naik tahta. Sang pangeran ingin Kerajaan Saudi yang modern.
Itu semakin tampak ketika kerajaan berjanji menerapkan sejumlah kebijakan yang menandai reformasi kebudayaan tahun 2018.
Tahun depan, Kerajaan Saudi berencana membolehkan kaum perempuan memasuki stadion olah raga bersama laki-laki.
Kaum perempuan juga dibolehkan untuk mengunjungi tempat-tempat konser musik. Sementara wisatawan, bakal dibolehkan mengunjungi situs-situs pra-Islam.
"Pesannya adalah, segala sesuatu yang dulu diidentikkan dengan Arab Saudi, kini tak lagi ada," tutur seorang menteri senior yang tak mau namanya ditulis.
"Ini adalah sebuah revolusi," jelasnya. "Semuanya sangat sensitif. Kita harus bersabar sampai semuanya tenang. "
Perombakan budaya Saudi yang kental dengan aroma patriarkis dan feodal tersebut, dicetuskan sang pangeran bulan lalu. Ketika itu, ia bertekad "mengembalikan Arab Saudi ke Islam moderat."
Meski bertajuk reformasi, bagi banyak kalangan, ide Pangeran Mohammed itu adalah "revolusi". Sebab, perombakan itu dipastikan memecahkan aliansi pendiri Dinasti Saud dan para ulama yang sepakat menerapkan ajaran fundamentalis Muhammad ibn Abd al-Wahhab pada abad ke-17, atau kekinian disebut sebagai paham "Wahabi".
Pangeran Mohammed juga mengakui, interpretasi lebih radikal terhadap Wahabiisme terjadi juga dipengaruhi kemenangan umat Muslim Syiah dalam Revolusi Iran tahun 1979. Iran adalah saingan utama Saudi sejak yang disebut pertama memenangkan revolusi dan mendirikan Republik Islam Iran—model negara yang dianggap sebagai antitesis kerajaan Saudi yang dinilai despotik.
"Kami tidak tahu bagaimana mengatasinya (radikalisme Wahabi)," kata Pangeran Mohammed kepada Guardian. "Dan masalahnya, ide itu tersebar di seluruh dunia. Sekarang saatnya untuk menyingkirkannya. "
Dr HA Hellyer, anggota Atlantic Council—organisasi think-thank Amerika Serikat—justru memunyai penilaian berbeda. Ia mengatakan, retorika reformasi atau revolusi di Saudi tersebut tidak berarti para pemimpin kerajaan bakal membuang paham Wahabiisme.
"Perubahan tingkat filosofis, di mana pendirian agama Saudi bukan lagi Wahhabi? Itu akan menjadi pergeseran monumental, dan saya tidak yakin sang putra mahkota bakal mau melakukannya," terangnya.
"Jika kita mengharapkan pendekatan religius non-konservatif untuk mengakar di Saudi, saya pikir kita sedang melamun," imbuhnya.
"Tapi pertanyaannya adalah, seberapa besar masyarakat semacam itu dapat benar-benar kembali ke pandangan religius yang lebih normatif, terutama dalam waktu singkat. Pendekatannya sejauh ini tampaknya adlaah, hanya ingin menahan dorongan yang lebih radikal dari Wahabiisme," tuturnya dengan nada pesimistis.
Namun, sejumlah anggota elite bisnis Saudi yang memunyai akses reguler ke sang pangeran, tak menyetujui pendapat Hellyer.
"Pangeran Mohammed memosisikan dirinya sebagai pemimpin dunia Islam Sunni," kata seorang tokoh senior.
"Dan satu-satunya cara dia bisa menjadi pemimpin dunia Sunni adalah, jika dia mengakui di depan umum bahwa kita telah kehilangan jalan hidup sebagai masyarakat Sunni (karena paham Wahabi)," terangnya.
Tapi persoalannya, seperti banyak dilontarkan mayoritas kritikus Pangeran Mohammed, sang putra mahkota terlalu terburu-buru melakukan perombakan, termasuk menahan banyak keluarga senior kerajaan.
Sementara polemik tersebut terus bergulir, di hotel yang sama tempat banyak pangeran ditahan atas tuduhan korupsi, konsultan ternama dan berbayaran tinggi dari Boston Consulting Group, McKinsey dan Deloitte berusaha menyelesaikan rancangan reformasi ekonomi Saudi.
Rancangan baru sistem ekonomi Saudi itu dibuat McKinsey dan Deloitte atas perintah putra mahkota.
"Rancangan baru ekonomi Saudi ini perpaduan antara perubahan manajemen dan taktik kejut," tutur seorang menteri senior mengenai kedua konsultan sewaan sang pangeran itu.
"Orang-orang nantinya akan terbiasa dengan seluruh perubahan ini. Yah, mereka harus terbiasa."