Kisah Gamelan Soeharto dan Jangan Lupa Senyum di Istana Negara

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 07 November 2017 | 10:35 WIB
Kisah Gamelan Soeharto dan Jangan Lupa Senyum di Istana Negara
Istana Negara ketika masih bernama Paleis te Rijswijk tahun 1925. [Collectie Tropen Museum/Wikipedia]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Presiden Joko Widodo kerap mengundang masyarakat dari berbagai lapisan ke Istana Kepresidenan di Jakarta.

Para tamu berasal dari berbagai kalangan, seperti ulama, santri, pegiat media sosial, pesohor hingga pelaku transportasi "online". Setelah pertemuan selesai, banyak yang melakukan swafoto di halaman Istana.

Swafoto itu biasa dilakukan dengan latar belakang satu patung hitam berbentuk seorang pria yang sedang memegang busur, dan bersiap untuk melepaskan anak panahnya.

Baca Juga: Anies Akui 'Rumah Berlapis' Tak Jauh Beda dengan Rusun Era Ahok

Patung itu berada di air mancur di depan Istana Negara, sesuai dengan jalur keluar masuk pengunjung Istana yang harus melalui Sekretarit Negara.

Patung berjudul "Melepaskan Panah" itu adalah karya seniman asal Hungaria Zsigmond Kisfaludi Strobl, yang dibuat pada 1919. Patung tersebut sempat berpindah-pindah tempat peletakan.

Awalnya patung itu dipajang di Istana Kepresidenan di Jakarta, lalu sempat pindah ke Istana Bogor lalu kembali lagi ke Jakarta sesuai dengan selera Presiden saat itu.

Namun kekinian, patung tersebut dengan gagah menandai muka Istana Negara yang terletak di Jalan Rijswijk atau yang sekarang disebut Jalan Veteran.

Ya, Istana Negara adalah istana yang menghadap ke Jalan Veteran sedangkan "saudara mudanya" yaitu Istana Merdeka menghadap Monas di Jalan Medan Merdeka Utara.

Baca Juga: Anies Baswedan Janji 'Ok Otrip' Segera Diterapkan

Kedua istana dipisahkan oleh halaman hijau nan asri, namun berada dalam satu kompleks.

Tempat Berfoto Istana Negara awalnya adalah kediaman pribadi seorang warga negara Belanda bernama JA van Braam, yang dibangun 1796.

Pada 1816, bangunan itu diambil alih oleh pemerintah Hindia-Belanda dan digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, serta kediaman para Gubernur Jenderal Belanda sehingga istana tersebut dijuluki "Hotel Gubernur Jenderal".

Sesuai dengan penghuninya saat itu, desain bangunan yang akan mengingatkan orang Belanda kepada kanal-kanal di Amsterdam.

Bangun itu dilengkapi dengan 14 pilar bundar putih yang berada di serambi depan dan belakang, plus tiga pintu masuk besar ditambah dua jendela raksasa anti-peluru di serambi depan.

Di samping untuk penginapan Gubernur Jenderal, gedung itu juga berfungsi sebagai kantor sekretariat umum pemerintahan. Dalam perjalanan waktu, gedung itu tidak mampu menampung semua kegiatan yang semakin meningkat.

Karenanya, tahun 1869, Gubernur Jenderal Pieter Mijer mengajukan permohonan untuk membangun "hotel" baru di belakang yang pada saat ini dikenal dengan nama "Istana Merdeka". Sementara bangunan lama yang menghadap ke Jalan Rijswijk akhirnya diperluas.

Bila masuk lewat pintu depan Istana Negara, ada ruang depan yang punya tiga lampu kandelabra besar dan sepasang cermin antik yang tingginya hampir mencapai tiga meter. Total ada 22 lampu kandelabra di Istana Negara.

Pintu depan itu memang hanya dibuka saat momen-momen khusus, misalnya "open house" Idul Fitri, 1 Syawal 1438 H yang bersamaan dengan 25 Juni 2017.

Pejabat dan masyarakat yang ingin bersilaturahmi dengan Presiden Joko Widodo, Ibu Negara Iriana Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ibu Mufidah Kalla masuk lewat pintu itu dan mengantri di sepanjang ruang depan hingga ke ruang perjamuan.

Istana Negara memang pada dasarnya terdiri dari dua balairung besar, yaitu ruang upacara dan ruang jamuan. Ruang upacara adalah tempat penyelenggaraan upacara-upacara resmi kenegaraan.

Pada masa Hindia Belanda, ruang upacara dipakai sebagai "ballroom" untuk pesta-pesta yang disemarakkan dengan acara dansa.

Pada masa penguasa Orde Baru, Soeharto, persisnya saat peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, Istana Negara juga dipakai untuk acara jamuan makan Presiden dan para veteran.

Tidak heran saat Soeharto berkuasa, ruang upacara tersedia dua perangkat gamelan: Jawa dan Bali, masing-masing ditempatkan di timur dan di barat dari podium yang berada di sisi selatan Ruang Upacara.

Tapi saat masa Presiden Joko Widodo, gamelan itu belum pernah dimainkan lagi.

Menurut Kepala Biro Pengelolaan Istana MF Darmastuti, gamelannya disimpan di Istana Yogyakarta bersama dengan satu set wayangnya.

"Sesuai dengan arahan Presiden Jokowi untuk menampilkan istana sebagai 'The Ultimate Show Case of Indonesia'. Karena Indonesia tidak hanya Jawa atau Bali, jadi pengelola istana mencoba mempadu-padankan semua ornamen-ornamen dari seluruh Indonesia dalam ruangan istana," kata Darmastuti.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI