Kisah Warga Bukit Duri Tak Kuat Lagi Bayar Sewa Rusunawa

Jum'at, 03 November 2017 | 17:54 WIB
Kisah Warga Bukit Duri Tak Kuat Lagi Bayar Sewa Rusunawa
Suasana di Bukit Duri [suara.com/Dian Rosmala]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Ditemani segelas kopi hitam, Mulyono tampak santai di kios kecil tepi jalan, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (3/11/2017).

Kios kecil itu milik Yati, bekas warga Kampung Duri yang kini tinggal di Rumah Susun Sederhana Sewa di kawasan Rawabebek, Jakarta Timur.

Sementara teman Mul, Rohiman dan Rusdi, terlihat serius beradu otak lewat permainan catur. Sesekali mereka ngobrol satu sama lain sambil menyeruput kopi hitam yang tersaji dalam sebuah gelas dari plastik.

"Lama juga busnya ya. Gue padahal ada perlu lagi ni sore ini," kata Mul menggerutu.
 


Mul ternyata sedang menunggu bus penjemput. Ia mau pulang ke rumah susun Rawabebek, setelah seharian menjajakan lemari kayu di Bukit Duri.

"Udah sih tunggu aja. Paling juga itu bentar lagi datang," saut Yati ketika mendengar Mul yang tidak sabaran lagi.

Mul, Rohiman, dan Yati adalah warga asli Bukit Duri. Rumah mereka telah hilang. Rata dengan tanah, setelah terjadi penggusuran pada September 2016. Kini, mereka tinggal di rusunawa.

Tak Kuat Bayar Sewa Rusunawa

Sebelum digusur, Mul memiliki dua rumah di Bukit Duri. Tapi, kedua rumah sudah tak ada lagi. Kini, ia bersama istri dan anak tinggal di rumah susun dengan biaya sewa Rp300 ribu per bulan.

Mul mengaku tidak kuat lagi membayar beban sewa. Ia nunggak sekitar enam bulan.
 
"Masalahnya kami tinggal di Rawa Bebek pun setiap hari harus membayar sewa. Pencaharian kami pun sudah tidak jelas. Rp300 ribu itu cuma biaya sewa lho, belum listrik, air, kalau ditotal sekitar Rp800 ribu harus kami bayar," kata Mul kepada Suara.com.

"Saya ungkapkan di sini, khususnya pak Gubernur Anies, bahwa di Rawa Bebek itu yang bayar sewa, semua pada nggak kuat bayar. Mulai dari lantai 1 sampai lantai 5, itu sudah banyak yang nunggak," imbuh Mul.

Penghuni rusunawa Rawabebek, kata dia, rata-rata sudah pada nunggak enam bulan lebih. Bahkan, ada yang sampai setahun belum bayar-bayar uang sewa.

Mul sebenarnya sudah tak nyaman tinggal di rusunawa, terutama karena suasananya. Suasana hidup di sana individualistik. Beda jauh dengan kehidupan di Bukit Duri yang dulu. Dia kangen suasana kekeluargaan di Bukit Duri.

Mul setiap hari harus bolak-balik dari rusunawa Rawabebek ke Kampung Bukit Duri untuk menjual lemari-lemari kayu.

Mul mengaku sudah benar-benar capek dengan aktivitasnya sekarang. Tapi apa boleh buat. Tidak ada pilihan lain. Dia harus tetap menafkahi keluarga.

Dia ingat zaman dulu, sebelum direlokasi ke rusunawa oleh pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama, dia tak perlu jalan jauh-jauh untuk jualan lemari. Walau hidup sederhana, semua dapat dilalui dengan tenang.

"Kalau kami kan lahir di sini, kami pribumi, kami asli di sini. Kami tetap enak di sini," ujar Mul.

"Kami tetap nyaman di Bukit Duri, walaupun kami seringkali kebanjiran. Tapi kalau di sana, tetap kami harus memikirkan sewa rumah, air tadinya kami disini nggak pernah sewa, air juga kami pasang dari PAM sendiri, sekarang kami harus berurusan dengan PAM di sana. Berurusan dengan pengelola rumah," Mul menambahkan.

Mul mengharapkan pemerintahan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno berpihak pada nasib orang kecil sepertinya. Mul setuju dengan penataan kota. Itu dibuktikan ketika dia dan tetangga-tetangganya rela direlokasi ke rusunawa Rawabebek demi mendukung program pemerintah.

"Memang DKI ini harus bagus, DKI harus bersih, DKI harus rapi. Tapi jangan mengenyampingkan kami. Kami terima dengan ikhlas untuk DKI, tapi tolong perhatikan kami
khususnya untuk warga kami ini yang menunggak tentang pembayaran," kata Mul.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI