Suara.com - Perkampungan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, dulu padat dan semrawut. Kini jauh lebih rapi.
Perubahan drastis terjadi semenjak pemerintah Jakarta di bawah Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat menertibkan kampung September 2016. Lalu, mengeruk dan menata Sungai Ciliwung.
Rumah-rumah semi permanen yang dulu berdiri berjejer di sepanjang bantaran sungai, kini tak lagi nampak. Sudah diratakan dan lahannya dibangun jalan beraspal selebar kurang lebih tiga meter.
Sebagian besar warga telah dipindahkan ke rumah susun sederhana sewa agar penghidupan mereka lebih baik.
Tetapi, sesekali sebagian dari mereka datang lagi ke Bukit Duri untuk melihat-lihat keadaan atau mengunjungi teman atau saudara yang rumahnya tak kena dampak penertiban.
Agus misalnya, mantan warga RT 4, RW 12, sesekali mengunjungi tetangga lamanya. Rumah Agus di Bukit Duri kini tinggal separuh, itupun sudah tak layak ditempati.
Ketika ditemui Suara.com, Agus bersama istri berada di bawah tenda yang terbuat dari terpal berwarna biru.
Ia tengah mengerjakan sesuatu. Di tangannya terdapat palu dan kayu, mungkin ia hendak membuat kursi.
"Mana paku tadi buk? Tadi kan saya taruh di situ. Nah itu, diplastik hitam itu," kata Agus kepada istrinya.
Agus terus memukul-mukulkan palu ke paku yang menancap pada kayu. Sementara tetangganya memperhatikan aktivitas Agus.
Agus kini tinggal di rumah susun sederhana sewa Rawabebek, Jakarta Timur.
"Kan kita kangen juga ya mas sama suasana dulu. Ya sama tetangga kita yang dulu. Ya sesekali datanglah kita ke sini," ujar Agus kepada Suara.com.
Mengenang
Agus menceritakan kisah ketika perkampungannya dieksekusi petugas. Saat itu, warga tidak melakukan perlawanan. Warga sadar diri, tinggal bukan tanah mereka. Hanya pasrah, berusaha menyelamatkan barang berharga.
Agus sudah tahu kalau perkampungan akan ditertibkan karena memang bukan tanah milik sendiri. Kesadaran itulah yang membuatnya dan tetangga tak melawan.
"Gimana ya mas, kita kan sadar ya kalau kita ini membangun rumah di tanah milik negara. Ya begitu ada surat pemberitahuan akan digusur ya pasrah aja kita mah. Meskipun kita sudah puluhan tahun disini," ujar Agus.
Agus masih ingat, kampungnya didatangi ratusan anggota gabungan Satpol PP, TNI, dan polisi. Mereka mengamankan jalannya penertiban.
Peristiwa itu sudah berlalu. Kini, tidak banyak yang dia harapkan, selain mendapatkan uang santunan dari pemerintahan baru di bawah Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Meminta rumah di Bukit Duri dibangun kembali sudah tidak mungkin, karena kini lahan sudah menjadi jalanan.
"Apa yang diharapkan, mau bangun rumah lagi? Mau dibangun dimana? Masa di tengah jalan itu? Ya kalau pemerintah peduli, kasi saja kita ini santunan, supaya ada dipakai untuk bayar sewa di rusun," kata Agus.
Kontrak Politik Anies-Sandiaga
Bukti Duri pernah didatangi Anies dan Sandiaga ketika masih kampanye menjelang pilkada Jakarta periode 2017-2022. Tepatnya Senin (9/1/2017). Kala itu, Kelompok Perempuan untuk Keadilan Sosial menyodorkan kontrak politik kepada mereka.
Kontrak politik tersebut berisi 10 aspirasi warga.
1. Moratorium penggusuran.
2. Pembenahan kawasan padat dilakukan secara partisipatif tanpa penggusuran.
3. Mengeksekusi putusan PTUN yang memenangkan tuntutan warga Bukit Duri atas penggusuran yang sewenang-wenang dengan memberikan ganti rugi yang wajah.
4. Pembangunan kampung deret di kawasan bekas gusuran Bukit Duri sebagai ganti rugi atas penggusuran paksa atas rumah warga yang sudah dilakukan.
5. Membangun pembangunan kota demi kebahagiaan warga dengan membuka 200.000 lapangan kerja usaha kecil, yang kebanyakan dijalankan perempuan.
6. Pemberian KJP Plus yang memberi dukungan pendidikan di luar biaya SPP untuk meringankan beban keluarga serta meningkatkan kesejahteraan murid dan gusur.
7. Membangun pusat layanan terpadu mulai dari Puskesmas, RSUD dan RSUP bagi perempuan korban kekerasan.
8. Membangun kembali atau renovasi segera sekolah yang rusa.
9. Terbukanya akses usaha kecil bagi perempuan, perempuan kepala keluarga dalam pengelolaan industri rumahan dan usaha kecil.
10. Pemberian KJS plus dengan pemberian layanan kesehatan ibu dan anak, serta penyediaan air bersih.
Harapan pada kontrak politik
"Ya karena itu sudah ditandatangani, ya mestinya ditepati ya mas. Kalau itu tidak ditepati, yang berarti mereka ingkar pada janjinya," tutur Agus.
Agus tidak banyak berharap pada kontrak politik. Sebab, dia bukan lagi bagian dari warga yang saat itu menang dalam gugatan di PTUN.
Agus hanya pasrah, menerima apa saja akan diberikan oleh pemerintah daerah.
"Itukan yang menggugat warga RT di sebelah mas. Kalau saya nggak ikut di situ. Saya nggak tahu apakah kami juga akan mendapatkan ganti rugi," kata Agus.