Dituduh Tarik 'Pungli' PKL, Satpol PP DKI Tantang Ombudsman

Jum'at, 03 November 2017 | 12:50 WIB
Dituduh Tarik 'Pungli' PKL, Satpol PP DKI Tantang Ombudsman
Ilustrasi - Satpol PP DKI Jakarta
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wakil Ketua Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Jakarta Hidayatullah, meminta Ombudsman Republik Indonesia memberikan bukti dugaan personelnya menerima uang setoran ilegal dari pedagang kaki lima (PKL).

Hidayat memastikan, anggotanya yang terbukti melakukan pungutan liar (pungli) terhadap PKL di seantero Jakarta bakal dipecat.

"Kalau itu (benar) laporkan saja. Mana buktinya? Laporkan (kalau) ada bukti. Kalau memang mereka begitu, kami pecat kok," tegas Hidayatullah saat dihubungi, Jumat (3/11/2017).

Ombudsman, Kamis (2/11), merilis hasil investigasi dugaan maladministrasi penertiban PKL di sejumlah wilayah ibu kota. Hasilnya, ditemukan ada oknum anggota Satpol PP 'nakal' yang kongkalikong dengan PKL.

Baca Juga: Mangkrak 20 Tahun, Jokowi Resmikan Jalan Tol Becakayu

Menurut Hidayat, warga banyak berpandangan negatif terhadap Satpol PP. Ia mencontohkan, saat masih menjadi Camat Tanah Abang, Jakarta Pusat, pernah dituduh meminta jatah ke pedagang saat sedang mengobrol.

"Oleh preman pernah ditegur. Terus dibilang 'wah camat minta tuh disiapin'. Itu yang kebiasaan di sana," tuturnya.

Enam tahun ditugaskan di daerah Tanah Abang, Hidayat sudah hafal dan tahu seluk beluk PKL di sana. Setiap ada pejabat DKI yang datang, selalu dituduh mau meminta jatah.

"Jadi nggak mungkin lah (minta uang pedagang). Kami itu sudah ketat banget, mana berani lah. Mungkin kalau ada, satu dua, tapi kayaknya tidak. Kayaknya preman-preman itu yang ngolah-ngolah. Kalau satu pedagang Rp500, kaya lah anggota saya," katanya.

Hidayat juga membantah pernyataan anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala, yang menyebutkan dugaan anggota Satpol PP menerima pungutan sebesar Rp500 ribu hingga Rp8 juta ke pedagang.

Baca Juga: Langgar Agama, Keluarga Pasien Yahudi Tolak Surat Kematian

"Pedagang itu memang menggiurkan, saya dulu ditantang Rp200 juta sebulan kalau dibebaskan (berjualan), itu waktu saya jadi camat. Tapi kan belum tentu (mau disuap)," klaimnya.

Selain itu, dia juga mengungkapkan ada oknum RT atau RW yang meminta jatah dari pedagang dengan membawa nama petugas Satpol PP, camat, atau lurah.

"Padahal kami tidak begitu, kami anti banget lah hal kayak begitu, zamannya sudah berbeda. Kami kalau menerima suap, tak berani lho menertibkan," kilahnya.

Ia lantas menceritakan, pernah ada kantor kecamatan yang dibakar PKL karena merasa dibohongi. Lurah dan camat di daerah itu masih tetap menggusur mereka meski menerima uang suap. Peristiwa itu, menurut Hidayat, terjadi antara periode 1997-1998.

"Akhirnya kecamatan dibakar. Jadi tak mungkin (menerima suap). Masak kami tertibkan tapi tetap ‘main juga. Tak berani. Kecuali dia sudah ngasih, nggak berani Satpol PP nertibin. Tapi kan kami masih menertibkan nih," terangnya.

Ia mengakui, ada anggota Ombudsman yang mengonfirmasi dugaan itu tapi belum ada bukti yang diberikan.

"Saya minta buktinya, siapa nama-namanya. Saya yakin nggak berani itu preman kasih nama. Saya minta nama siapa satpolnya," tantangnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI