Suara.com - Satu keluarga Yahudi ortodoks di Toronto, Kanada, menolak surat kematian putra mereka yang dikeluarkan pihak rumah sakit, lantaran tak sesuai dengan keyakinan agamanya.
Shalom Ouanounou, pemuda berusia 25 tahun dinyatakan meninggal dunia oleh tim dokter karena otaknya tak lagi bekerja (brain dead).
Kematian otaknya tersebut terjadi setelah Shalom terbaring di RS selama sebulan terakhir sejak penyakit asmanya kambuh.
Baca Juga: Penyebar Konten Porno Sejenis Ini Hina Jokowi dan Ayu Ting Ting
Agar pernapasannya lancar, dokter selalu melakukan intubasi, yakni memasukkan selang ke tenggorokan Shalom sebagai alat pernafasan.
Setelahnya, seperti dilansir The Star, Kamis (2/11/2017), tim dokter yang merawatnya menyatakan Shalom mengalami mati batang otak membuatnya tak lagi responsif, sehingga dibikinkan sertifikat kematian.
Namun, ayah Shalom menolak surat kematian yang dikeluarkan rumah sakit karena menurut keyakinan Yahudi, seseorang dinyatakan meninggal dunia kalau jantungnya tak lagi berdetak.
Sang ayah, lantas mengajukan surat tuntutan kepada pengadilan agar pihak RS mau memasang alat penopang kehidupan hingga jantung putranya itu benar-benar berhenti berdetak.
Pengadilan mengabulkan tuntutan sang ayah, dan akan menggelar persidangan untuk memutus solusi terbaik dalam kasus ini.
Baca Juga: Penyebar Konten Porno Sejenis Teriak Ngaku HIV Saat Ditangkap
Sembari menunggu proses persidangan selesai, majelis hakim, Rabu (1/11), memerintahkan RS untuk memasang alat penopang hidup dan tabung makanan sementara bagi Shalom.
"Keputusan pengadilan sangat melegakan bagi keluarga. Kami semakin optimistis kasus ini akan dimenangkan oleh keluarga Shalom," tutur Hugh Scher, pengacara keluarga Shalom.
Ia menjelaskan, inti kasus ini adalah, apakah sistem hukum Kanada mengenai kematian otak bisa mengakomodasi keyakinan beragama warganya.
Scher mencontohkan, perangkat hukum mengenai kematian seseorang di sejumlah negara bagian Amerika Serikat (AS) telah mengakomodasi keyakinan agama warganya.
"New York dan New Jersey sudah mengakomodasi definisi kematian yang diyakini kalangan agama Abrahamik, terutama Yahudi dan Islam. Jadi, kami berpikir, kenapa Toronto tak bisa mengakomodasi hal yang sama," terangnya.