Suara.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengakui, terdapat banyak kelemahan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas).
Namun, karena DPR sudah mengesahkannya menjadi undang-undang, maka segera diterima dan harus dihormati.
"(Perppu) Itu memang banyak kelemahannya secara objektif. Tapi ya, forum politik sudah memutuskan bahwa itu sah, sudah diterima dan harus dihormati," kata Jimly di gedung Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (1/11/2017).
Jimly memberikan dua catatan yang dianggapnya penting, kalau pemerintah merevisi UU No 17/2013 tentang Ormas. Pertama, mengenai sanksi pidana yang tidak terlalu penting, yakni pidana yang diancam kepada anggota ormas sebelum dibubarkan.
Baca Juga: Menagih Janji Anies, Warga Tanah Merah Minta Dibangunkan Fasum
"Kecuali kalau sanksi pidana terhadap orang yang menolak dibubarkan, sudah dibubarkan tapi masih saja aktif, itu lain. Jadi sanksi pidananya sah,” terangnya.
Hal kedua yang perlu direvisi adalah soal proses pengambilan keputusan pembubaran. Jimly meminta agar mengembalikan peran pembubaran ormas kepada pengadilan.
"Itu lebih baik. Tapi yang jauh lebih penting lagi adalah nomor tiga, rekonstruksi dan redefinisi ormas dan organisasi politik. Bedanya di mana? Itu harus dibedakan. Kalau ormas ya ormas, orpol ya orpol. Kalau orpol apakah termasuk parpol atau bukan. Nah ini harus direkonstruksi ulang," terangnya.
Jimly menuturkan, rekonstruksi dan redefinisi sangat penting, agar dapat memastikan instansi mana yang berhak membubarkannya. Dia mencontohkan partai politik yang pembubarannya hanya bisa dilakukan di MK
"Tapi kalau dia ormas, kan tidak di MK. Yang jadi masalah, orpol bagaimana? Apakah orpol bagian dari parpol atau bukan? Contoh, satu ormas tapi afiliasi partai politik, apakah itu bagian dari parpol atau bukan? Ini kan harus direkonstruksi. Kalau dia bagian dari parpol tidak bisa dipisahkan, maka pembubarannya di MK. Itu contohnya," jelasnya.
Baca Juga: Terungkap! 56 Hotel Mewah dan Kafe Pakai Gula Tak Layak Konsumsi
Jimly juga menjelaskan, dulu ada sejumlah ormas yang tidak menyebut dirinya sebagai parpol. Contohnya adalah Golkar yang baru menyebutkan dirinya sebagai partai setelah tahun 1999.