"Para single galau yang butuh kasih sayang menjadi target perekrutan juga," kata dia.
Tetap menjadi korban
Keterlibatan aktif kaum perempuan dalam kasus terorisme dimulai sebagai korban. Mereka adalah korban ideologi.
Banyak para perempuan yang tidak tahu bahwa, jika suaminya terlibat dalam gerakan radikal. Mereka baru tahu saat suaminya ditangkap. Suaminya tidak memberi tahu terlibat dalam serangan teror karena faktor keamanan.
Baca Juga: JK Sebut Terorisme Datang dari Negara Gagal
"Ketika suaminya ditangkap, perempuan menggantikan peran itu, dalam hal ini mereka korban ideologi suami," katanya.
Ketika suaminya ditangkap dengan tuduhan perbuatan teror, perempuan menjadapatkan dampak nyata. Terutama menjadi korban stigmatisasi dari lingkungan tempat mereka tinggal.
"Perempuan kena imbas, ditolak dan diusir oleh masyarakat. Mereka harus berpindah tempat tinggal," paparnya.
Dalam riset itu, Dete mendapatkan sebuah informasi jika ada organisasi tertentu di internal kelompok teroris yang berperan merekrut perempuan dari berbagai negara untuk dijadikan istri para teroris yang masih bebas ataupun yang sudah dipenjara. Perempuan itu didoktrin dengan untuk membela 'perjuangan' kelompok teroris tertentu.
Perekrutan juga dilakukan lewat media sosial, contohnya yang dilakukan ISIS. "Mereka berkenalan dan indoktrinisasi melalui Facebook," jelas dia.
"Dalam kelompok ISIS ini ada perkawinan lintas negara, ini untuk memperluas kekuatan ISIS," kata dia.
Dalam penelitiannya itu, Dete memberikan solusi agar pengaruh teroris terhadap perempuan tidak mengugat di masa datang. Menurut dia perlu mengubah pola pikir dan mendekontruksi pemikiran mereka.
Baca Juga: Wiranto Yakin RUU Terorisme Mudahkan Manuver TNI-Polri
"Tapi ini sulit."