Suara.com - Sebuah penelitian yang dilakuakan Yayasan Prasasti Perdamaian menyebutkan ada tren keterlibatan perempuan dalam aksi teror di dunia. Tren ini juga terjadi di Indonesia.
Peran perempuan di aksi teror bukan lagi sekadar menjadi pendukung, tapi perempuan menjadi penentu. Teroris perempuan yang terakhir kali berniat melakukan aksi bom adalah Dian Yulia Novi (DYN). Dia ditangkap di kosan di Jalan Bintara Jaya VIII Kota Bekasi, dipersiapkan sebagai calon 'pengantin' pada Januari 2017 lalu.
Itu di Indonesia. Di Filipina, baru-baru ini seorang perempuan ditangkap karena tuduhan memasok orang asing untuk menjadi teroris di Marawi. Nama perempuan itu adalah Karen Aizha Hamidon. Hamidon merupakan istri Mohammad Jaafar Maguid, mantan pemimpin Ansar Khalifa Filipina yang tewas dalam operasi penangkapan teroris di Provinsi Sarangani, Filipina Selatan. Hamidon juga mantan istri pemimpin teror Singapura Muhammad Shamin Mohammed Sidek yang ditahan di negara asalnya karena diduga memiliki hubungan dengan Daesh.
Peneliti dari Prasasti Perdamaian Dete Aliyah bercerita dalam penelitiannya, pergerseran peran perempuan dalam aksi terorisme terjadi saat kelompok the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) menguat. Dia menyebut perempuan menjadi agresif di banding kaum Adam.
Baca Juga: JK Sebut Terorisme Datang dari Negara Gagal
"Dulu saat zaman Jemaah Islamiyah, perempuan sebagai supporting system. Tapi ketika ISIS muncul, peran perempuan semakin melebar," papar Dete di Konferensi Pengetahuan dari Perempuan III di Universitas Indonesia, Selasa (25/10/2017).
Dete dan tim peneliti Prasasti Perdamaian menemui perempuan-perempuan yang dituduh sebagai teroris. Selain itu mereka juga menemui para deportan ISIS dari Suriah. Dari 161 deportan itu, 46 orang di antaranya adalah perempuan. Sementara sebanyak 8 perempuan masih di tahan di Mako Brimob, Kepala Dua, Depok karena terjerat kasus teror.
Perempuan itu terliat aktif dalam kegiatan teror berdasar agama berawal lewat perkawinan, pertemanan, pengajian, persaudaraan dan perkencanan dengan anggota sel teroris tertentu. Bahkan media soal menjadi jalur yang ampuh untuk merekrut teroris perempuan.
Kebanyakan dari perempuan yang direkrut itu mempunyai berbagai motif sampai akhirnya bergabung dengan teroris. Mulai dari motif sosial, ekonomi dan politik. Salah satunya, mereka melihat ketidakadilan di negerinya.
"Bahkan mereka beranggapan Indonesia bukan negara yang aman untuk pertumbuhan anak-anak. Saat wawancara dilakukan, saat itu lagi banyak kasus fedofilia," papar Dete.
Baca Juga: Wiranto Yakin RUU Terorisme Mudahkan Manuver TNI-Polri
Kebanyakan perempuan yang direkrut kebanyakan dari kalangan ibu rumah tangga, buruh migrant, perempuan korban keretakan rumah tangga, dan perempuan muda.